Berkurban untuk Korban PHK

PUNCAK ibadah haji adalah Wukuf di Arofah. Untuk tahun 1445 H/2024, jamaah haji dari seluruh dunia termasuk jamaah Indonesia melaksanakan prosesi wukuf di Arafah pada 9 Zulhijah 2024 atau 15 Juni 2024.

Waktu wukuf di Arafah dimulai setelah tergelincirnya matahari (waktu Zuhur) pada hari Arafah. Maka otomatis pada 10 Zulhijah 2024 atau 16 Juni 2024 dilaksanakan Salat Idul Adha.

Ibadah haji adalah sebuah aksi yang berkesinambungan, tak terhenti pada tumpukan teori di atas kertas. Haji juga penuh dengan simbol, bukan sebatas ritual.

Ibadah haji bukan hanya sekadar ibadah ritual dengan memakai ihram, melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran), sai (berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah), melempar jumrah (dengan batu kerikil ke tiang Jamarah), wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah, lalu bertahalul (memotong rambut).

Seorang manusia penting untuk memahami fungsi dan perannya masing-masing. Manusia sebagai khalifah di muka bumi berkewajiban melaksanakan segala amanah yang diberikan oleh Allah, termasuk dalam melaksanakan ibadah haji. Bukan hanya sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik setiap prosesi ibadah haji.

Baca Juga  Jumlah Satpol PP Bangka Capai 362 Orang

Bahwa pelaksanaan ibadah haji seharusnya menjadi kesempatan bagi setiap jamaah untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebab, itulah tujuan dari pelaksanaan ibadah haji, yakni menggapai haji mabrur.

Bila ibadah haji berhasil dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan syarat dan rukunnya, niscaya dirinya akan menjadi seorang Muslim yang baik, patuh, dan taat dalam menjalankan ibadah. Di sinilah, pentingnya seorang Muslim memahami dan mengambil manfaat dari manasik haji.

Maka, tibalah tahapan puncak, sebuah tingkatan klimaks yang diteladankan Ibrahim AS yaitu berqurban. Prosesi berqurban tersebut terlampaui usai ritual-ritual transendental. Peneguhan tauhid kala bertawaf, menyelami perjuangan Hajar ketika sa’i, lalu ‘merasakan’ kehadiran Adam ketika menuju Arafah. Di Padang itu, tebersitlah akan arti dan kedudukan manusia di hadapan-Nya.

Qurban hanyalah simbol dari berserah diri yang sempurna. ‘Ismail’ manakah yang hendak Anda qurbankan? Apakah gelar, profesi, harta, status sosial? Atau apakah yang hendak Anda sucikan? Bukan perkara mudah membatasi dan memutuskan perkara apa yang hendak dipurifikasi. Apa pun yang membuat iman lemah, maka “sembelihlah”. Segala hal yang melenakan dari kewajiban, tanggung jawab, dan kebaikan, maka jauhkanlah. Begitulah hakikat kurban.

Baca Juga  Komunitas Pers Diminta Mawas Diri, Ketua PWI: Lindungi Media Kecil

Pemahaman akan pentingnya prioritas. Mengedepankan hak-hak ilahi ketimbang maslahat duniawi. Ikhtiar yang demikian lebih sulit. Sebab, kondisi itu akan menimbulkan dialektika kepentingan. Tarik ulur hasrat. Hasilnya akan sangat menentukan. Siapa memilih dunia, maka ia telah kalah dalam pertempuran besar.

Melawan hawa nafsu. Bahkan, pertarungan ‘kepentingan’ itu dalam konteks Ibrahim AS, nabi yang dikenal sebagai Bapak Agama Samawi itu, sangat kompleks. Ia sangat mendambakan seorang putra selama berpuluh-puluh tahun.

Dan, anak yang dinanti itu justru diperintahkan Allah untuk dikurbankan. Pelaksanaan qurban, bentuk dari penyempurnaan hakikat berserah diri dan keikhlasan yang sebenarnya. Tetap jaga agar tak tergelincir. Sebab, terpeleset dari tangga kemuliaan itu berarti petaka yang sangat disesalkan.

Sebagai bagian tak terlepaskan dari ritual haji, qurban adalah simbol dari kontinuitas kesalehan. Kebaikan tak boleh terhenti lantaran risalah Islam berselaras dan dinamis dengan kehidupan. Qurban meneguhkan arti pentingnya pengorbanan dalam hidup. Mengikis ego pribadi, sektoral, dan komunal. Hidup adalah soal pengorbanan. Sejauh mana komitmen berusaha dan tidak berputus asa, tak pamrih memberi dan bukan hanya menerima.

Baca Juga  Polisi Olah TKP Kecelakaan Maut di Desa Puput

Maka, dalam konteks Bangka Belitung, sangat tepat bila spirit berqurban itu diterapkan. Situasi perekonomian sedang tidak baik. Pertumbuhan ekonomi triwulan satu cuma 1,01 persen, terendah se-Sumatera. Di Bangka Tengah sekitar 600-pekerja sawit di PHK.

Sejumlah elit gaduh soal bagaimana penanganan korban PHK. Yang baru tampak adalah tunjuk sana, tunjuk sini, persis seperti aksi pemain sirkus di atas panggung yang berharap perhatian. Gaduh sejagat medsos. Tapi nihil aksi nyata! Apakah 600-an kepala keluarga yang di-PHK itu hari ini dapurnya mengepul? Urusan sekolah anaknya beres? Mereka juga dapat daging kurban kah? Berapa ekor sapi yang dikorbankan elit Bangka Tengah untuk korban PHK itu? (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *