Catatan Iwan Piliang
(Jurnalis Senior)
Saya bersyukur, orang paling tajam mengkritisi saya adalah isteri sendiri, Sandra IP. Seperti acap saya sebut, kalau isteri sewot, mengkritik, hati ini cepat kusam, sempit; kawan, orang lain, mengkritik diri ini, saya enjoy aja. Begitulah hati, membersihkannya kerja terberat di muka bumi, tantangan utama sosok terdekat di sekitar kita.
Ketika status – – tepatnya tulisan panjang – – berjudul Bola, Atur Skor AFF, Invictus dan Juara, saya tulis, Sandra “marah”, “Orang lagi happy menang lawan Malaysia, kok, diingatkan soal indikasi atur Skor kasus 2010?”
“Orang tuh ya, memberi harapan ke depan bukan balik ke kejelekan masa lalu.”
Begitu bla-bla Sandra. Saya yakin semua setuju dan saya apalagi sangat setuju.
Tulisan itu saya buat tiada lain bagaimana mulai leg pertama final AFF 2021 esok hingga kedua Sabtu mendatang agar jauh dari tangan-tangan, saya mengistilahkan: “Don Gambler.”
Wajah sepak bola kita persis bak di foto saya ambil dari google ini: ada wajah tulus ikhlas seperti Ibu Arhan, dan para pemain bermental juara seperti anaknya, punya dignity.
Sebaliknya ada labirin gelap di mana bisa jadi di ruangan sana ada sosok dengan 5 layar lebar tv dengan sound doulby stereo memampang siaran langsung sepak bola dari berbagai liga, plus 10 teve kecil lain berderet di bawahnya, dapat diklik pakai remote jarak jauh untuk naik ke salah satu monitor layar lebar. Di sana berderet hitungan score juga pola taruhan bola yang tak banyak pihak mafhum.
Di rumahnya Ibu Farhan di mejanya ada teko dengan cawan gelas plastik air putih, di seberang sana bisa jadi yang sedang menyimak banyak layar datar, terhidang sebotol wine, dipesan khusus menggunakan private jet dari Singapura, karena wine limited hasil pencarian di samudera lepas dari kapal tenggelam abad silam, sebotol bisa US $ 500 ribu.
Sama halnya indikasi perpolitikan kita saat ini, oligarki fulus mulus. Ketulusan ada di rakyat kebanyakan memuliakan peradaban, sebaliknya di oligarki lobby untung tambun lintas-lini termasuk bila perlu terindikasi melakukan transfer pricing tambun tiap tahun. Bahasa mereka ini, “Ape lo?”
Ibu Arhan lemah lembut, yang di seberang bukan saja bisa berkata-kata kasar, bahkan main tabok, kalau sekadar memecahkan ratusan remote sudah biasa: karena sekali kalah taruhan bisa terindikasi US $ 10 juta, cuma Rp 140 miliar, belum US$ 1 miliar.
Saya pernah menulis di Indonesia ini bisa jadi Don-nya Don, mengambil istilah di Film the God Father. Contoh lain, berapa sih volume penjualan Narkoba pernah dilakukan Escobar di Kolumbia setahun? Ada 100 ton?
Bandingkan dengan masuknya shabu ke Indonesia dalam setahun. Dari kunjungan saya ke Kolumbia, saya paham volume penjualan Escobar walau dikatakan besar kalah jauh terindikasi dengan masuknya Shabu ke Indonesia saat ini. Pasar utama diduga para tahanan di penjara, bukan rahasia, ada oknum sipir bilang kalau narkoba tak dimasukkan penjara rusuh.
Saya pernah “menangis” ketika di sebuah sekolah sepak bola di Jakarta melihat dipampang banner segitiga di pinggir lapangan. Bunyinya: “Stop Pencurian Umur!”
Mak!
Dalam benak saya, kenapa bukan tulisan: Sportif Juara, dipajang gede-gede?
Lalu teriakan ibu, bapak, pemgantar sang anak, di pinggir lapangan tiga saja kata: Hajar, Sikat, Matiin! Bukan kata sebaliknya yang memotivasi: semangat nak, sportif nak, juara nak.
Kenyataan di lapangan itulah makanya pada akhir 2019 saya gelindingkan program #jugglingidol. Saya baca buku Will Curver, mencoba memahami ball handling. Sayang Covid, upaya saya di sepak bola mencari 33 remaja hebat handling bola, juggling minimal 30 menit bola tak jatuh ke tanah hingga saat ini terhenti.
Panjang kali saya tulis ke sana-ke mari soal Final AFF esok. Mari kita doakan para Don Gambler dan kaki tangannya mencret-mencret, seminggu ini, semuanya, sehingga tak ikutan campur tangan di final AFF, pertandingan sportif, Indonesia juara. Toh 270 juta rakyat Indonesia dominan tulus memuliakan keinsanan. Aamiin.
Alinea terkahir ini saja sejatinya mau saya sampaikan. (*)