Catatan Fithrorozi
Budayawan Belitung
Sudah waktunya Bangka Belitung memiliki museum yang menarasikan karakter masyarakat, alam dan budayanya. Gagasan ini disampaikan Fakhrudin Halim ketika berjumpa dengan sejumlah pihak di Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Bangka dan Belitung ibarat asam dan garam, telah mengarungi perjalanan sejak terbentuk 21 tahun lalu. Asam menjadi indikasi dataran tinggi dan garam mengindikasikan dataran rendah.
Jikan asam dan garam bertemu di belanga maka Bangka dan Belitung bertemu di lautan.
Selalu disebut Provinsi Kepulauan yang mengindikasi relasi kuat antara daratan dan lautan. Bak kayu Resak (Vatica Bancana) dan Pelepak (Hopea Billitonensis) yang memperkuat struktur perahu hingga melarung jauh ke samudera.
Ini kali pertama kami bertemu, dipertemukan oleh organisasi kewartawanan. Usai mengikuti acara Pelantikan Pengurus PWI Kabupaten Belitung periode 2021-2024 di Hotel Grand Tulip, Tanjungpandan, kemarin (18/12/20/21), Fakhrudin Halim mengungkapkan fenomena generasi muda yang tidak lagi mengenali sahang dari daunnya.
“Saya sudah mewawancarai beberapa anak muda, ada yang tidak mengenal sahang,” ujarnya saat berbincang di beranda hotel.
Dari fenomena inilah gagasan pentingnya keberadaan museum. “Museum dapat menjadi media mengungkapkan kondisi sosial budaya masyarakat bahkan perlu diperjelas dengan periodisasi,” terangnya lagi.
Cerita sahang tak luput dari liputannya kala menyaksikan Festival Jelajah Pesona Jalur Rempah di Manggar beberapa bulan lalu. Sebuah festival yang merekonstruksi jalur rempah yang mempengaruhi peradaban nusantara.
Di balik komoditas ini ada relasi manusia dengan alam yang diwujudkan dengan status sahang atau lada yang sudah dianggap sebagai komoditas ber-indikasi geografis.
Indikasi geografis tidak hanya mengungkit nilai ekonomi tapi lebih penting bagaimana potensi sumber daya alam ini memetakan aspek sosial budaya masyarakat. Pada gilirannya aspek sosial budaya berkaitan dengan transformasi struktur ekonomi daerah.
Tak dipungkiri Bangka Belitung memiliki potensi sumberdaya, hanya saja masih terjebak pada skala ekonomi. Dalam rentang yang panjang timah masih menjadi buah bibir para eksportir sehingga membangkitkan imajinasi kemakmuran masyarakat.
Padahal rentang produksinya tergolong pendek karena lazimnya komoditas yang berkarakter ekstraktif tidak menuntut nilai inovasi. Artinya tidak ada lapangan usaha (sektor) kreatif yang bisa dilibatkan.
Pengembangan sektor hilir sempat digaungkan dengan usaha kerajinan dan berdirinya industri smelter namun belum sempat berkembang optimal, para eksportir terimajinasi untuk mengakumulasi modal usaha.
Alih-alih hilirasi produksi, yang terjadi justru hilirisasi imajinasi. Masyarakat kecil terasuki oleh indikasi geografis sehingga memarjinalkan potensi alam yang lain.
Hilirisasi imajinasi kemakmuran ternyata merasuki pikiran generasi muda. Dan alam pun semakin tertekan, sahang tak lagi diminati seiring berubahnya fungsi lahan yang sudah disepakati.
Dari selembar daun sahang, Fakhrudin Halim membaca pemikiran generasi muda yang mengabaikan keberkahan bumi Bangka Belitung. Berkah bumi ini harusnya disyukuri dan itu sebabnya bumi tempat berpijak menciptakan budaya yang selaras dengan bumi tempat ia berpijak.
Fakhrudin meyakini , museum lada bisa membangkitkan imajinasi dari penguatan indikasi geografis Bangka Belitung.
Bisa jadi museum tidak berimbas langsung pada proses komodifikasi tapi yang pasti museum bisa membangun daya kognisi atau proses berpikir masyarakat seperti halnya selembar daun yang menggambarkan kondisi tanah dan memperkirakan seperti apa kualitas buah yang akan dihasilkan nanti. (*)