Catatan Farid Gaban
(Jurnalis Senior)
Menteri Bappenas Suharso Manoarfa pekan ini (15 Agustus 2021) mengatakan Indonesia sedang menggodok konsep ekonomi biru atau blue economy yang digadang-gadang menjadi pembangkit ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Konsep ekonomi biru ini, kata Manoarfa, sedang populer di beberapa negara maju dalam beberapa tahun terakhir dan akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari “Redesain Transformasi Ekonomi Indonesia Pasca-Covid-19” yang sedang disusun oleh Bappenas.
Meski cukup terlambat, langkah Bappenas ini layak disyukuri. Istilah “ekonomi biru” sebenarnya sudah lama beredar. Diperkenalkan oleh Gunter Pauli, ekonom Belgia, sekitar 10 tahun lalu, ekonomi biru tidak hanya menyangkut ekonomi kemaritiman atau kelautan sebagaimana dipahami Menteri Manoarfa.
Ekonomi biru pada dasarnya ekonomi yang mengambil inspirasi dari cara alam bekerja dan karenanya lebih selaras dengan alam, Planet Bumi yang berwarna biru jika dilihat dari angkasa. Dari situlah kata “biru” berasal.
Ekonomi biru tak cuma bicara soal ekonomi (profit dan uang). Dia menawarkan pijakan yang lebih radikal ketimbang ekonomi hijau (greenomics) dalam mencari keseimbangan antara pembangunan ekonomi, pelestarian alam, penguatan modal sosial dan penghargaan pada budaya lokal (kearifan tradisional).
Beberapa prinsip ekonomi biru:
MENSYUKURI DAN MELESTARIKAN KERAGAMAN HAYATI. Nature evolved from few species to a rich biodiversity. Wealth means diversity.
DARI KELANGKAAN MENUJU KELIMPAHRUAHAN. Nature evolves from sufficiency to abundance. The present economic model relies on scarcity as a basis for production and consumption.
MENGHARGAI ASPIRASI DAN KEMANDIRIAN LOKAL. Nature only works with what is locally available. Sustainable business evolves with respect not only for local resources, but also for culture and tradition.
ETOS KEWIRAUSAHAAN DAN INOVASI. Natural systems share risks. Any risk is a motivator for innovations. Nature provides room for entrepreneurs who do more with less.
MENDORONG KERJASAMA (KOOPERASI) DAN GOTONG-ROYONG. In natural systems everything is connected and evolving towards symbiosis.
PEDULI BENEFIT DAN VALUE KETIMBANG PROFIT. Nature searches for economies of scope. One natural innovation carries various benefits for all. In Nature one process generates multiple benefits. Nature is never concerned about its “core business” or about “economies of scale.” Nature respects limits.***
Gunter Pauli tidak menemukan ekonomi biru. Dia cuma merumuskan dan memperkenalkan kembali sejumlah prinsip yang empat dasawarsa lalu banyak dibicarakan oleh E.F Schumacher dalam “Kecil itu Indah: Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil” (A study of economics as if people mattered) serta diterapkan Mahatma Gandhi lewat swadesi (kemandirian/berdikari).
Meski rumusannya baru, sebagian konsep ekonomi biru sebenarnya bisa kita lihat penerapannya dalam kehidupan masa lalu nenek-moyang di pedesaan: ekonomi subsisten yang bertumpu pada alam. Cara hidup seperti ini bahkan masih lestari hingga kini di kalangan masyarakat tradisional seperti Baduy, Dayak dan Mahuze (Papua).
Pada kenyataannya, praktek ekonomi biru memang telah lama diterapkan nenek-moyang kita di desa-desa. Hal yang paling menarik dari ekonomi biru adalah bahwa dia bertumpu dari “apa yang kita punya”, tidak menuntut banyak prasyarat dan bisa dipraktekkan oleh warga yang paling marjinal dan di desa paling pelosok sekalipun.
Pada intinya, ekonomi biru adalah upaya mengelola sumber daya alam secara optimal, arif dan berkelanjutan. Ini merupakan satu jawaban tehadap tantangan global kontemporer yang dihadapi banyak negara di dunia: bagaimana menumbuhkan ekonomi dan meningkatkan modal sosial tanpa merusak alam.
Ekonomi biru menekankan diri pada penciptaan nilai (value) dan sejumlah manfaat (multiple benefit) yang bisa dihasilkan dari sumber daya lokal yang ada.
Itu pula yang membedakannya dari ekonomi hijau, yang sudah terlebih dulu populer. Bertumpu pada prinsip kapitalisme tentang kelangkaan, ekonomi hijau memang menghasilkan produk dan jasa ramah alam, tapi cenderung mahal dan hanya bisa dinikmati orang kaya. Ekonomi biru, di lain pihak, menawarkan kelimpahruahan. Produk yang menyehatkan manusia dan ramah alam justru harus semurah mungkin untuk bisa dinikmati semua orang.
Ekonomi biru bukan ideologi yang sudah jadi dan kaku. Dia lebih menyerupai “filsafat dalam aksi”, sebuah kerangka kerja untuk merumuskan kebijakan seraya menghormati jatidiri lokal/nasional tiap negara.
Konsep ekonomi biru karenanya tidak sepenuhnya asing. Inilah salah satu faktor yang membuat dia potensial membantu kita merumuskan kebijakan publik dalam bidang ekonomi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Konsep ini bisa membantu kita merumuskan Sistem Ekonomi Pancasila yang lebih membumi.
Saya mempelajari ini dalam beberapa tahun terakhir dan telah menulis beberapa artikel tentang itu: dua tahun lalu di Majalah Prisma edisi “Ekonomi Pancasila”, dan dalam artikel tahun 2017 di bawah ini:
ANDAI JOKOWI MAU MENDENGAR GUNTER PAULI
Farid Gaban | 14 Agustus 2017
Makin banyak orang suka minum kopi. Konsumsi kopi terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan di Jerman, negeri bir, kopi kabarnya telah menyalip minuman alkohol itu sebagai minuman favorit. Tren kopi-mania juga makin marak di Indonesia, tempat asal Java coffee yang terkenal.
Tapi, sadarkah Anda, kopi yang kita seduh sebenarnya hanya sebagian sangat kecil saja dari pohon yang ditanam? Ada sekitar 7 juta ton kopi diproduksi di seluruh dunia tiap tahun, dan jutaan ton kulit biji serta ampas seduhan kopi dibuang begitu saja sebagai limbah.
Di Amerika Latin dan Afrika, beberapa perusahaan perkebunan kopi kini memperoleh pendapatan tambahan dengan mengolah limbah itu. Limbah kopi ternyata merupakan medium bagus untuk mengembangbiakkan beragam jamur yang bisa dimakan. Air limbah kopi juga bisa dipakai sebagai biogas pembangkit energi. (*)
Selengkapnya baca: