Catatan Fithrorozi
Budayawan Belitung
Demokrasi parlementer menegaskan bahwa kedudukan parlemen sangat penting dalam menjalankan sistem pemerintah. Jika dirunut, parlemen berasal dari kata ‘parle’ (Perancis) yang bermakna bicara atau lisan.
Dengan begitu kapasitas parlemen berkaitan dengan kualitas bertutur kata. Dalam perspektif politik, kemampuan semacam ini bisa menakar kualitas diplomasi. Sedang dalam perspektif budaya, tradisi lisan menjadi kekuatan untuk menghimpun modal sosial. Paling tidak hal ini mengingat kita pada ‘juru bicara rakyat’.
Dalam hikayat 1001 malam muncul tokoh Abunawas, di Asia Timur ada tokoh Nazaruddin Hoja yang sering bersilat lidah dengan Timur Lenk. Kedua tokoh ini menunjukkan bagaimana kapasitas rakyat dibangun melalui lisan. Masyarakat Bangka Belitung juga akrab dengan Kik Lasak, Pak Udak, Kik Berak.
Tradisi lisan dirasa mampu menggerakkan sumberdaya hingga berdampak positif bagi pengembangan kapasitas perencanaan dan evaluasi kinerja kelembagaan.
Namun jauh lebih penting lisan memberi kekuatan untuk mengikat silaturahmi. Dengan lisan, DPRD Bangka Selatan menggelar Bimtek. Lisan juga membuat mereka membangun kerjasama untuk memperkuat posisi tawar.
Parle alias tradisi lisan dalam membangun kapasitas parlemen telah melewati sejarah yang panjang sejak abad ke 11 dan bermula di Perancis. Dalam perkembangannya, tradisi lisan dianggap kurang efektif membangun kapasitas terutama dalam perencanaan dan evaluasi kinerja.
Tanpa bukti tertulis seolah semua percuma. Tak soal jika tulisan kurangnya jelas bentuknya asalkan berpola seperti pola tanda tangan. Komitmen tanpa tulisan, tidak bisa diandalkan kecuali dibubuhkan tanda tangan.
Di alam demokrasi, Perancis menginspirasi parlemen dunia. Sejarah lisan (parle) menggiring semboyan revolusi : liberté, egalite, fraternité (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Dalam kehidupan sosial, persaudaraan menjadi modal. Bagaimana dengan egalite atau kesetaraan?
Kesetaraan kerap menjadi isu yang menonjol terutama ketika perjalanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dievaluasi. Pada masanya, setiap orang dituntut hak suara dan setiap pemikiran punya dasar, dipengaruhi perspektif filosofi (berpikir), perspektif naturalistik, perspektif psikologis dan jangan dilupakan ada perspektif kultural yang mencerminkan ragam rupa tradisi lisan. (*)