PANGKALPINANG – Sebagai salah satu upaya pemulihan ekonomi daerah dan wujud dari respon adanya kemungkinan krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19 sesuai peringatan FAO Food and Agriculture Organization (FAO), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menyediakan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate sesuai arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020.
“Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Pemprov. Babel) telah membuat kajian strategis Permohonan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) di Bangka Belitung. Akan tetapi, hal ini masih membutuhkan penyempurnaan sehingga mampu memberikan jawaban atas persoalan di masyarakat terkait pengelolaan kawasan perkebunan, pertanian, tambang dan area lainnya,” jelas Wakil Gubernur (Wagub) Abdul Fatah saat membuka Rapat Pembahasan terkait Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara virtual melalui aplikasi zoom, Kamis (23/09/21).
Fatah berharap bahwa konsep kajian yang telah disusun Pemprov. Babel dapat dievaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) melalui Direktur Pengendalian Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor KLHK, agar Babel dapat segera melakukan perbaikan untuk penyempurnaan dokumen.
“Sejujurnya, dokumen ini diharapkan dapat menjadi kajian yang paripurna, bertanggungjawab, serta tidak akan dipermasalahkan pada masa yang akan datang,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan sekaligus Sekretaris Pokja penyusunan KLHS Food Estate Babel, Edi Kurniadi menyampaikan penyusunan KLHS dilakukan sebagai salah satu persyaratan teknis penetapan KHKP.
Sedangkan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate dilakukan melalui dua skema yaitu KHKP dan alih fungsi pelepasan kawasan hutan. Dan Babel memilih tahapan dengan skema KHKP.
Adapun tahapan-tahapan yang telah dilakukan Pemprov. Babel dalam proses penyusunan KLHS ada 11 tahapan, dan Babel sudah melalui 10 tahapan.
“Pada bulan Januari 2021, melalui delapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Babel, selama dua bulan telah mengumpulkan usulan dari rencana kawasan untuk pembangunan food estate. Setiap KPH mengajukan Area of Interest (AoI), sehingga tersusunlah kurang lebih 60 hektar lahan kritis yang akan diusulkan dengan berbagai macam komoditi sesuai dengan potensi daerahnya, dan juga secara bottom up dengan keinginan masyarakat ,” jelasnya.
Di Babel sendiri, ada enam kabupaten yang ada kawasan hutannya, baik hutan lindung maupun hutan produksi.
Dari pengumpulan data pada bulan April 2021, disepakati SK Tim Pokja pengerjaan KLHS Food Estate berdasarkan Peraturan MenLHK P.24/2020, telah disepakati usulan lahan dari 60 ribu ha menjadi seluas 56.069 ha.
Sekdis Edi Kurniadi juga menjelaskan, pihaknya telah melakukan FGD penyusunan KLHS sehingga telah mendapatkan berbagai masukan terkait penyediaan, kelayakan lahan, arahan dan kebijakan Food Estate dari 15 direktorat yang diundang termasuk didalamnya direktorat dari Kementerian Pertanian.
Selain itu, di bulan Juli 2021, Babel melakukan konsultasi publik dengan mengundang semua stakeholder terdampak untuk mendapatkan masukan termasuk kelompok masyarakat di sekitar rencana kawasan. Pengintegrasian dan penjaminan kualitas dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2021.
Proses dokumentasi telah termasuk di dalam dokumen KLHS. Dan pada tanggal 24 Agustus 2021, Babel mendokumentasikan proses kelengkapan berkas validasi yang akan diajukan. Dan di tanggal 27 Agustus 2021, Babel asistensi pra validasi KLHS. Pengajuan permohonan KLHS dilakukan pada 7 September 2021.
“Sampai sejauh ini, kami telah dibantu oleh tenaga ahli selama 9 bulan dari mulai bulan Januari hingga sekarang,” jelasnya.
Menanggapi dokumen KLHS yang diajukan Pemprov. Babel sebanyak 300 halaman, Direktur Pengendalian Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor KLHK, Erik Teguh mereview satu persatu yang diajukan Babel.
Ia mengatakan, KLHS yang disusun berlokasi di kawasan hutan, sehingga menjadi pusat perhatian semua pihak baik nasional maupun internasional. Untuk itu, dokumen ini harus bisa menjadi basis yang dapat menjawab pertanyaan publik dan perlu dirumuskan serta dikaji agar memiliki kualitas yang baik dan dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan.
“Dokumen ini diutamakan dapat berfungsi efektif di lapangan sebagai referensi aspek-aspek lingkungan di Babel,” ujarnya. (rel)