Kematangan Beragama

Catatan Iwan Piliang
(Jurnalis Senior)

Foto Bunga Matahari ini saya abadikan kemarin di Gemitri, Tabanan, Bali, hanya sebagai ilustrasi.

Pagi ini saya menulis soal judul di atas.

Posisi saya bukan Ustad. Bukan ahli agama. Saya hanya pembaca, masih merasa kurang bacaannya; termasuk suka membaca kitab di luar agama saya anut.

Sejatinya kematangan berawal dari kata.

Ya words.

Hulu kata ada di lubuk hati. Text book pengantar ilmu komunikasi di dunia dominan seragam; pesan adalah simbol komunikasi mulai dari kata, suara, dst. Pondasinya: hati nurani, akal, budi.

Saya acap tulis pondasi itu ruh komunikasi. Dalam topik komunikasi ini, kebetulan studi saya di sana, pernah praktisi komunikasi massa, pernah berbisnis di jasa komunikasi. Jadi soal posisi dalam tulisan ini, mungkin saya lebih tepat sebagai komunikator, dibanding soal agama.

Baca Juga  Potensi Kopi di Bangka Belitung

Kembali ke kata.

Kata disusun menjadi kalimat. Setiap bahasa memiliki logika bahasanya sendiri. Ada tata bahasanya. Arab ada Nahwu. Inggris ada grammar. Bahasa Indonesia, juga acap saya tulis ada SPOK, memahami premis mayor, premis minor dan seterusnya.

Logika dasar dimulai dari Bahasa Ibu. Dulu di pendidikan dasar, menengah, Bahasa Indonesia ponten 5, tidak naik kelas. Ketika kuliah di komunikasi, satu smester kami belajar kembali buku tipis Ejaan Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar, nilai seluruh mahasiswa: do re mi. Itu era 1985. Hari ini saya tak tahu apakah sudah do semua.

Menganggap enteng kata, bahasa, tak paham SPOK, dampaknya fatal. Semua Undang-Undang disusun dari kata-kata, membuat kalimat. Di pengadilan pun membahas pasal kata, kalimat. Ilmu pengetahuan membaca kata, membaca kalimat, memahami alinea, menguasai buku. Karena itu Al Quran di ayat pertama iqra, baca!

Baca Juga  Jangan Buat Masyarakat Babel Bingung

Maka kalau ada pihak mengatakan mengapa bahan rumusan kata di saat Indonesia merdeka silam kata-katanya bagus, jernih, mungkin mereka dulu taat kaedah ke pemahaman dasar, ihwal berbahasa, soal berlogikanya genah.

Jaman now bila kita kritik bahasa anak muda, saya akan termasuk jadi old. Namun negara-negara maju peradabannya, semuanya merawat, menjaga logika; artinya merawat bahasa, genah logika dasar masyarakatnya. Hal ini tanggung jawab siapa? Ya tanggung jawab pemerintahnya, mulai dari pimpinan tertinggi hingga jajaran terendah.

Tujuh tahun terakhir dada saya sesak, ihwal acakadut, balepak-peak kata, bahasa, sesat logika.

Mereka terindikasi sesat berkata-kata ini sudah lama saya amati. Terbaru, Ferdinad Hutahaean. Dulu 2014 ia permah ke kediaman saya sekali. Saya amati konten, mohon maaf saya menjauh, satupun tak pernah saya komen, beri like atau sebaliknya terhadap kontennya.

Baca Juga  Bila Dua Alat Bukti Cukup, Tunggu Apalagi

Kemarin saya simak Sosmed heboh soal tudingan terhadap Tuhan orang lain dan dan Tuhannya super. Sejatinya, sebagai Muslim, saya tak merasa terganggu.

Apalagi cuma seorang Ferdinand, wong, sudah lama tak permah saya simak dan lihat.

Persoalan premis mayor, dominan pembuat konten terindikasi sampah seperti konten Ferdinand, diberi tempat selama Presiden Jokowi memerintah.

Kalau tulisan ini endingnya seperti ini, kalian insan iqra pahamlah siapa sejatinya penyampah? Padahal kematangan beragama tergantung dari kata, dari berkata-kata, dari merawat logika, sehingga paham bagaimana menjadi insan berbudi: berkematangan menjadi manusia beragama. Itu saja. (*)

Tinggalkan Balasan