Catatan Asro Kamal Rokan
(Wartawan Senior)
BULAN depan, genap lima tahun Bang Tarman Azzam wafat. Kenangan pada Ketua Umum PWI Pusat (1998-2008) tidak pernah lekang. Terasa masih ada. Gaya berpidato, canda, juga suaranya yang merdu menyanyikan lagu-lagu Said Effendi, P Ramlee, dan Ahmat Jais, terngiang di telinga. Terasa baru saja.
Bang Tarman wafat 9 Sepember 2016 di Ambon karena sakit jantung. Pagi itu di penginapannya, Bang Tarman jatuh di kamar mandi. Pak Nuh Hatumena, yang bersamanya, memberi kabar Bang Tarman wafat.
Kepergian Bang Tarman, tiga hari menjelang Idul Adha 1437 H, itu sungguh mengejutkan. Kabar duka cepat menyebar melalui sosial media. Perjalanan hidup telah berakhir. Namun tidak kenangan.
Tadi malam, ketika membuka file-file foto, saya menemukan banyak foto-foto Bang Tarman dalam berbagai perjalanan, di antaranya selama sepuluh hari keliling Turki, mengunjungi tapak-tapak sejarah Romawi Kuno, Byzantium, Konstatinopel, Kekhalifahan Usmaniyah, dan masa modern saat ini.
Kami diajak Selim Caglayan, wartawan Turki di Jakarta, mengelilingi Turki. Ketua rombongan kami, Pak Saiful Hadi Chalid (alm) Pemimpin Redaksi LKBN Antara. Dalam rombongan, antara lain Bang Tarman Azzam, Bang Karni Ilyas (TVOne), Rikard Bagun (Kompas), Suryopratomo (MetroTV), Usman Kansong (Media Indonesia), Nasihin Masha (Republika), Wardahnia (TVRI), dan saya.
Perjalanan Mei 2012 itu diawali dari Antalya. Kami semalam di kota tua dekat Selat Dardanella, yang munghubungkan Laut Hitam dan Laut Aegea. Pada 1873, arkeolog Jerman, Heinrich Schiliemann, melakukan penggalian dan menemukan reruntuhan sebuah kota, yang dipercaya sebagai kota Troya, berumur lebih dari 4.000 tahun.
Dari Antalya, melalui darat kami menuju ke Teater Romawi Aspendos. Di sini, Bang Tarman sempat “bertarung” dengan ksatria Romawi. Dan, menang.
Setelah itu, kami ziarah ke makam Maulana Jalaluddin Rumi di Konya, bermalam Cappadocia — kota dalam tanah yang dibangun bangsa Het lebih dari 3.000 tahun lalu. Kota ini sempat dikuasai Parsia, Alexander Agung, Romawi Kuno, Bizantium, Kekaisaran Ottoman. Kini, menjadi wilayah Turki.
Cappadocia, seperti juga Antalya, dan Konya berada di Anatolia — wilayah yang mempertemukan Asia dan Eropa, tempat lahirnya peradaban prasejarah, zaman neolitikum, zaman Yunani, Romawi, Byzantium, Turki Seljuk, dan Ottoman. Di Anatolia ini juga ada kota Bursa, ibukota pertama Kesultanan Ottoman sebelum pindah ke Konstatinopel (Istanbul).
Perjalanan berlanjut ke Ankara, mengunjungi kantor partai berkuasa, Adalet ve Kalkınma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangungan), yang dipimpin Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan. Berdiskusi dengan petinggi partai.
Akhir perjalanan, kami ke Istanbul, mengunjungi Masjid Biru, Hagia Shopia, Topkapi Palace, Grand Bazaar, Stasun TV Turki, Penerbit majalah dan koran Zaman, dan menyusuri Selat Bosphorus, yang memisahkan Asia dengan Eropa.
Selama di perjalanan, Bang Tarman terlihat gembira. Dalam suasana itu, Bang Tarman seakan tidak berhenti membalas pesan-pesan singkat melalui handphone Nokia Communicator. Pesan-pesan itu berasal dari pengurus PWI Pusat dan daerah. Bang Tarman dikenal selalu berupaya menjaga silaturahim.
”Kasihan teman-teman di daerah jika SMS mereka tidak dijawab,” kata Bang Tarman.
Saya beberapa kali diajak Bang Tarman ke daerah, melalui perjalanan darat lima hingga enam jam. Bang Tarman menikmatinya. Tidak terkesan lelah. Sepanjang perjalanan, lagu-lagu Said Effendi, Mashabi, P Ramlee, juga Ahmat Jais hampir tidak berhenti terdengar dari Nokia Communicator-nya.
Tidak hanya mendengar, Bang Tarman mengikuti lagu-lagu tersebut dengan suaranya, yang bagus. Saya juga menyukai lagu-lagu tersebut, yang pada masa kecil saya dengar melalui Radio Malaysia. Kami sama-sama berasal dari pesisir timur Pulau Sumatera. Bang Tarman dari Bangka, saya dari Batubara, Sumatera Utara. Radio Malaysia jauh lebih jernih didengar daripada RRI.
Di kendaraan, kami sama-sama bernyanyi. Bedanya, Bang Tarman tepat mengiringi lagu-lagu tersebut. Suaranya sesuai, cengkoknya pas. Siti Nurhalizah, penyanyi Malaysia, saat keduanya bernyanyi di acara ISWAMI di Bandung, pernah memuji suara Bang Tarman, yang menurutnya menggunakan teknik perut, seperti almarhum ayahnya.
Dalam kendaraan, saya juga bernyanyi, mengikuti Bang Tarman, tapi dengan suara sangat pelan. Suara saya lebih sesuai untuk berteriak daripada bernyanyi. Maklum, meski pernah jadi penyiar, saya lebih suka disuruh berjalan lima kilometer daripada nyanyi. Tertawa saja fals.
Suatu kali, ketika ziarah ke makam P Ramlee di Kuala Lumpur, Bang Tarman bernyanyi dengan suara keras. Pengunjung heran. Biasanya, ziarah membaca doa. Bang Tarman tahu penziarah heran, namun lagu berjudul Kau Laksana Bulan, selesai juga dinyanyikannya.
Manusia dari tiada, menjadi ada, dan kembali ke tiada. Bumi tempat persinggahan sementara, selanjutnya seperti kelereng — dengan berbagai warna — menggelinding ke tempat yang sama, menunggu.
Lima tahun sudah Bang Tarman pergi. Kenangan terhadapnya tidak pernah putus. Dia sahabat dan abang setiap orang. Kami pun siap-siap ke sana, seperti kelereng, menggelinding dan hilang.
Semoga Allah melapangkan makam Bang Tarman, menjadi taman indah, sebelum menuju Jannatun Naim. Aamiin yaa Robbba;’Alamiin. (*)