PANGKALPINANG – “Memang susah, satu persatu peti jenazah lewat, tapi harus dibawa enjoy.”
Anda bisa bayangkan jika terpapar Covid-19 dan dirawat di rumah sakit. Teman sebelah tempat tidur satu persatu meninggal. Tentu perasaan menjadi tidak karuan.
Namun tidak demikian apa yang dialami Kadis Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sudarman (57).
Senin kemarin, (16/8/2021), Darman begitu biasa disapa berbagi pengalamannya sebagai penyintas dalam program Ku Cinta Babelku dengan tema “Cerita Penyintas Covid-19” di LPPL In Radio 97.6 FM.
Darman diketahui merupakan pasien komorbid yang berhasil melalui masa kritisnya.
Menjaga kesehatan psikis, kata Darman juga perlu menjadi perhatian. Perlu manajemen yang baik dari pasien karena, mereka yang paham betul kondisi hatinya.
“Jika bahagia, maka tingkat imun bisa meningkat sehingga pasien lebih cepat sembuh,” ujar pejabat ramah ini.
Berdasarkan pengalaman itu, sebagai seorang penyintas dirinya sangat menyetujui adanya tempat isolasi terpadu di Babel.
Seperti yang diketahui, Asrama Haji Babel saat ini beralih fungsi menjadi lokasi isolasi terpadu bagi masyarakat Babel yang positif Covid-19 tanpa ataupun dengan gejala.
“Ini adalah gagasan terbaik untuk melayani pasien Covid-19. Kita sebagai pasien, gizi terpenuhi. Jangan sampai, ketika sesak baru datang ke rumah sakit. Tentu terlambat,” katanya.
Kalau pasien tidak ditangani di isoter tentu sulit menjaga kondisi kejiwaan agar bisa tetap optimis.
“Memang susah, satu persatu peti jenazah lewat. Tapi memang harus dibawa enjoy,” ujar Darman.
Manfaat lain isoter, kata Darman bisa mencegah terciptanya klaster baru di lingkungan keluarga.
Lain Darman, lain pula Taka, mahasiswi, penyintas Covid-19 narasumber lainnya.
Kisahnya ketika isolasi mandiri dan berhasil untuk tidak menyebarkan virus di keluarganya.
“Jadi aku selalu dalam kamar, alat makan dan baju semua dicuci terpisah. Sebelum dicuci juga pasti disemprot sama disinfektan dulu. Ketika aku ke toilet atau keluar untuk berjemur pasti aku bawa semprotan dan pakai double masker. Semua yang habis aku sentuh pasti aku semprotin. Udah, setelah itu di kamar aja,” ungkapnya.
Menurut Taka, dengan menggunakan double masker dan membawa disinfektan ketika keluar kamar menjadi kunci utama untuk melindungi keluarganya dari Covid-19.
Meski Taka telah berhasil melalui masa isolasi mandiri di rumah tanpa menyebarkan virus, dia juga setuju jika dilakukan isolasi terpadu.
“Pengetahuan kita kan masih minim, nah ini yang bisa bikin fatal. Obat-obatan juga belum tentu komplit kalo isoman, fasilitas kita juga kadang gak memadai. Kalau isoter, makanan disediakan, pola hidup diatur menjadi lebih baik. Taka juga sudah liat lokasi isoter, di sana dilengkapi AC, jadi kita jangan khawatir,” ujarnya.
Dokter Spesialis Paru, dr. Liyah yang turut menjadi narasumber dalam program ini pun sepakat dengan dengan Darman dan Taka.
Selama ini, kata Liyah banyak pasien Covid-19 dibawa ke rumah sakit ketika saturasi sudah di bawah 70 maka, tak heran jika angka kematian terus meningkat. Padahal jika dirawat lebih awal, tingkat fatalitas bisa diminimalisir.
“Kalau isoter, tenaga kesehatan juga jadi lebih mudah memantaunya. Fasilitas Kesehatan ada, sarana dan prasarana juga disediakan,” ujarnya.
Kata kuncinya menurut Liyah adalah adanyan kesadaran dari masyarakat terlebih yang dinyatakan positif Covid-19.
“Banyak yang positif tapi pura-pura tidak tahu. Datang ke warung, padahal sedang bawa virus. Karena itu, masalah kita masih belum tuntas. Kesadaran diri dan pengetahuan mengenai penanganannya pun masih kurang,” jelasnya. (fh)