02-04-2020
Oleh: Fakhruddin Halim
Secangkir teh dan bebeberapa lembar kiping. Kiping penganan dari gandum. Mirip seperti roti yang biasa di kawasan India, Pakistan, Afghanistan atau Timur Tengah.
Roti ini biasanya ditemani lauk berupa kari ayam atau kambing.
Saya lebih suka hanya dikasih sedikit garam lalu menjadi teman minum teh.
Sementara anak-anak lebih suka ditaburi cokelat tabur atau meseseres.
Hampur dua pekan terakhir waktu saya hampir sebagian besar di rumah bersama anak-anak.
Rumah pun menjadi sekolah.
Setiap hari sebagaimana sekolah anak-anak absen, senan sebelum memulai pelajaran.
Absen secara online dan dilaporkan kepada guru sesunghuhnya sekolah.
Ada jadwal istirahat, makan dan bermainnya meski sekolah rumahan ini sudah barang tentu lebih longgar. Guru dan anak sama-sama sering melanggar aturan.
Tapi luar biasa. Barangkali sejak menikah inilah saya benar-bemar berada di rumah. Biasanya saban hari saya mendengar anak-anak protes karena jarang berada di rumah secara full.
Sering sekali ketika pulang malam anak-anak sudah terlelap tidur.
Istripun tak jauh dari urusan dapur menyiapkan segala sesuatunya. Anak-anak makannya jadi lahap dari biasanya.
Apapun yang disaji istri selalu ludes. Bahkan biasanya ada makanan yang anak-anak tidak doyan kini disapu habis.
Karena waktu cukup, saya pun berkesempatan membuka ulang buku-buku lama dan sejumlah buku yang belum sempat dibaca.
Sejak kuliah saya memang senang membeli buku. Meski untuk itu saya harus memotong uang makan dan mencari pekerjaan apa saja untuk membeli buku.
Dan buku itu masih terawat dengan baik. Kini pun tetap sama. Setiap bulan minimal satu buku. Dan setiap bepergian ke luar kota saya menyempaykan mampir ke toko buku.
Selain memang beberapa buku dikirimi teman yang bukunya baru terbit dan penerbit untuk diresensi.
Maka saya sering jengkel ketika ada yang meminjam tidak kembali atau kembali tapi penuhdengan lipatan bahkan robek.
The Third Way karya Profesor Inggris Anthony Giddens saya coba buka ulang. Buku tersebut saya beli ketika kuliah 20 tahun lalu.
Gidden menawarkan “Jalan Ketiga” antara sosialisme dan liberalisme. Buah pikir intelektual unggulan Tony Blair tersebut dinilai para pakar telah melahirkan gagasan yang dianggap mustahil oleh berbagai kalangan.
Will Hutton, Editor-in-Chief, The Observer, menyebutkan Gidden berhasil membentuk sebuah definisi jalan ketiga yang koheren dan persuasif.
Lebih penting lagi, ia berhasil menegaskan bahwa jalan ketiga tidak berada di luar kiri dan kanan: jalan itu adalah bagian dari kiri, yaitu pembaharuan demokrasi sosial.
Sementara Ian Hargreaves, mantan Editor New Statesman dan The Independent menilai Gidden memberi sumbangan paling signifikan bagi upaya peletakan landasan intelektual posisi kiri-tengah.
Tapi, tak sedikit pula yang menilai gagasan Giddens justru membingungkan. Dan mustahil dapat diterapkan sempurna. Kalaupun diterapkan justru berada dalam ambiguitas dan tidak bertahan lama dengam berbagai alasan.
Istilah semacam ini meski tidak persis sama, mirip dengan istilah yang juga populer di Indonesia yang hingga kini belum tuntas perdebatannya.
Apakah Indonesia itu negara Islam atau Sekuler?
Beragam pendapat terus berkembang.
Dua kutup ekstrim lahir. Satu berpendapat Indonesia adalah Negara Sekuler. Agama harus di ‘lowckdown’ dari kehidupan bernegara.
Agama tidak boleh masuk ranah publik. Agama adalah ranah privat maka tempatnya hanya di rumah dan rumah ibadah.
Namun ada juga yang berpendapat Indonesia negara Agama. Hal ini didasari pada pembukaan UUD 1945 dan Pancasila itu sendiri yang ke satu Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam prakteknya, menurut mereka sejumlah hal negara ikut campur mengatur sejumlah urusan agama. Bahkan salah satu sumber hukum yang diakui oleh Indonesia adalah Hukum Islam.
Perdebatan seperti ini lebih tua usianya dari Indonesia. Yang paling sengit adalah antara Soekarno yang mewakili kelompok nasionalis dengan M Natsir mewakili Islam.
Dan belakangan sejak menguatnya keinginan agar Indonesia totalitas menerapkan Islam secara kaffah.
Ada pula yang berpendapat sebagaimana Giddens. Bahwa Indonesia adalah Negara Agama Sekaligus Negara Sekuler.
Jadi sederhananya begini dia orang baik sekaligus orang jahat. Atau dia adalah terdakwa sekaligus jaksa penuntut umum?
Barangkali itulah akhirnya hingga kini semakin tidak jelas “kelamin” nya konsep bernegara. Bahkan ada yang mengatakan kita negara bukan-bukan.
Nah hal ini semakin terkonfirmasi sejak COVID-19 mewabah. Hingga kini rakyat seperti terseret oleh kebijakan yang kesana kemari.
Terombang-ambing dalam ketidak pastian dan pemberitaan media yang terus meralat berita karena informasi yang disajikan semakin sering diralat sumber berita atau narasumber.
Sepertinya para petinggi semakin galau, bingung dan tidak percaya diri bagaimana menangani wabah ini dengan baik.
Di sini semakin jelas dan tegas bahwa perubahan secara revolusioner harus dilakukan.
Kita tidak mungkin bisa bertahan di atas konsep bukan-bukan. Tampak, diserang COVID-19 Indonesia kelimpungan.
Ekonomi begitu keropos. Uang tidak ada meski negeri ini begitu kayanya.
Bukan saja Indonesia dunia pun seperti orang mabuk yang sebentar roboh. Barang kali segala seauatunya ada masanya.
Barangkali inilah masanya baik Kiri-Tengah, maupun Kapitalisme Global tumbang! (*)

