Bagaimana agar aku tak menginjak para lumut? Kali ini di Padang Lumut lho, bukan di Gunong Lumut.
Dr Yulian Fahrurrozi adalah seorang aktivis dan pengiat lingkungan hidup di Belitong.
Yulian Fahrurrozi atau Yayan membagikan tips bagaimana melintasi padang lumut tanpa harus menginjaknya.
Sebab, menurutnya menginjak padang lumut sama artinya dengan merusaknya. Sementara keaslian padang lumut harus terjaga.
Tidak mudah lumut tumbuh. Dan butuh waktu cukup lama agar tumbuh sehingga menebal bak permadani terhampar.
Nah Yayan punya kiat. Putra asli Manggar ini membagikan tips dengan cara menggunakan ilmu orang Belitong pedalaman Tg.Rawa Kelubi.
“Namanya “bejangkit” dari batang pohon yang satu ke batang pohon yang lain, tanpa harus turun ke tanah,” ujar Yayan beberapa hari lalu.
Baca Juga:
Mimpi Museum Maritim Belum Padam
Dalam foto yang dibagi tampak ahli Etnobiologi ini sedang mempraktekkannya.
“Istilah Belitong lainnya untuk “bejangkit” adalah “nyambit”, tapi bukan “nyambit” istilah orang Betawi yang artinya melempar,” kata Yayan.
Semoga tetap eksis dan lestari padang lumut ini beserta komunitasnya (padang pohon Sesapu Baeckea frutescens & hamparan lumut sejati hutan kerangas).
Menurut Yayan, padang lumut yang ia lintasi berada di dataran rendah, bukan di atas pegunungan seperti padang lumut di daerah lainnya. Ketika di tempat lain adanya di atas pegunungan, keberadaannya relatif aman dan lestari.
Namun, tidak demikian jika tempatnya di dataran rendah seperti di Belitong, sangat rentan, fragile ecosystem, mudah sekali terbakar atau berubah jadi areal pertambangan, perkebunan khususnya sawit, dan pemukiman.
“Semoga padang lumut vegetasi padang hutan kerangas pohon sesapu (Baeckea frutescens) di sini tetap selamat dari keserakahan & kecerobohan manusia,” ujarnya.
“Tugas kita ini selamatkan padang lumut kite segera,” sambungnya.
Lalu, siapakah Dr Yulian Fahrurrozi?
Ia adalah seorang ahli Etnobiologi dan Etnoteknologi.
Pendidikan S1 awalnya di IPB Bogor tapi tidak selesai. SI akhirnya diselesaikannya di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Jakarta (kini UNJ), S2 Bio (Etnobotani) FMIPA IPB dan
S3 PSP (Teknologi Kelautan) FPIK IPB.
Ia adalah sosok ilmuan langka. Bukan saja karena idialisme dan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan sehingga totalitas dalam pengabdian kepada masyarakat.
Kejujuran membuat dia tidak takut bersikap dan bersuara. Makanya dia lebih memilih tidak menjadi apa-apa ketimbang menjadi apa-apa tapi tersandera oleh pragmatisme dan orang lain.
Ia mencemaskan kondisi lingkungan Kepualauan Bangka Belitung. Gagasan penyelamatan lingkungan haruslah berbasis masyarakat dan bersifat independen.
Sejumlah gagasannya mengenai hutan, perikanan, kelautan, lingkungan dan Etnobiologi terus dimatangkan. Dia pernah menjadi motor pengelolaan geopark (taman bumi) dan akhirnya 17 Geopark ditetapkan sebagai Geopark UNESCO.
Geopark adalah wilayah terpadu yang terdepan dalam perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan, dan mempromosikan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat.
Perhatian dan tenaganya kini tercurah untuk mewujudkan gagasannya mengenai lingkungan hidup Pulau Belitong.
Ia ikut mengawali berdirinya UBB dan menjadi staf pengajarnya di Fakultas Pertanian, Perikanan & Biologi (FPPB), mengajar mahasiswa Biologi & mahasiswa Perikanan/Kelautan.
Namun akhirnya ia lebih memilih melanjutlan idialismenya di tanah kelahirannya dengan segala persoalannya.
“Ketika masih mengajar, kelas saya di hutan, pantai, kampung nelayan. Mahasiswa saya bawa ke sana,” katanya, tersenyum.
Ilmuan langka ini adalah sosok kritis. Baginya orisinilitas pemikiran atau gagasan harus bebas dari intervensi dalam bentuk apapun dan oleh siapa pun, baik kepentingan modal maupun kekuasaan. Ruang gagasan adalah ruang yang merdeka.
Lahir dari keluarga terpandang. Kedua orangtuanya adalah tokoh pendidik di Belitung Timur. Salah satu pamannya adalah salah satu tokoh besar Indonesia, seorang pakar hukum dan pernah menjabat sebagai menteri pada kabinet sejumlah rezim.
Yayan adalah Yayan. Ia punya jalan pengabdian sendiri. Ia punya cara sendiri untuk menjaga idialisme dan mewujudkan gagasannya. (fh)