Kado Hari Santri Nasional

Catatan Fakhruddin Halim
Sabtu-22-10-2022

DUA setengah tahun lalu, saya mengantarkan anak kami ke salah satu Pondok Pesantren, tingkat SMP. Dua bulan lalu minta dikirimkan laptop untuk membuat Tugas Akhir (TA).

Ananda Najma Nabiila Mumtaza  memilih TA membuat buku. Di pondok pesantren tempat ananda kini menimba ilmu, setiap santri kelas 3 baik tingkat SMP maupun SMA diwajibkan membuat TA sebagai salah satu syarat kelulusan.

Karya pun bentuknya beragam, bisa karya ilmiah, komik, membuat buku atau karya dalam bentuk lainnya yang sudah ditentukan pesantren.

Santri diberi kebebasan untuk memilih salah satu TA dalam bentuk yang mana yang akan diambil. Ananda memilih sendiri TA menulis draf buku.

Tiga pekan lalu sudah ia presentasikan dihadapan dewan penguji. TA diterima dengan baik. Kami dikirimi foto saat ananda mempresentasikan hasil karyanya.

Baca Juga  Jumlah Satpol PP Bangka Capai 362 Orang

Sabtu pekan lalu, ketika jam waktu menelepon saya tanyakan bagaimana presentasinya? Awalnya, kata Nabiila sempat gugup. Tapi ia cepat menetralkan kegugupannya.

“Alhamdulillah berjalan lancar,” ujarnya.
Ruang menelepon cuma setiap akhir pekan. Itu pun menunggu giliran antrian. Memang santri dilarang membawa alat komunikasi seperti telepon dan sejenisnya.

Telepon disediakan pihak pondok pesantren. Sebelum akhir pekan akan dishare nomor urut antrian menelepon di grup WA wali santri.

Satu-satunya komunikasi yang tidak dibatasi adalah melalui surat. Maka belakangan saya rutin berkirim surat ke Nabiila. Begitu pun sebaliknya, Ananda dengan menulis tangan rutin membalas atau mengirimkan surat ke kami atas inisiatifnya.

Biasanya agar praktis, setelah saya menulis surat menggunakan kertas, saya foto lalu kirimkan ke salah satu ustadzah pembimbingnya. Begitu pun sebaliknga. Ananda juga kerap mengirimkan surat sebagai balasan surat kami atau sekedar mengabarkan aktvitasnya di pesantren.

Baca Juga  SILPA Pemprov Babel Rp900 Miliar: Bertahan atau Pindah?

Biasanya surat dari ananda ada NB (Nota Bene) nya berupa permintaan sejumlah keperluan. Korespondensi melalui surat kini jarang dilakukan apalagi anak seusianya.

Teknologi android membuat surat menyurat semakin jarang digunakan bahkan menghilang. Kecuali surat yang sifatnya kedinasan saja.

Padahal dulu, ketika masih bersekolah di SMA atau kuliah di Yogyakarta, ayah saya di kampung secara teratur berkirim surat kepada saya, begitupun sebaliknya. Repotnya, jika surat yang saya kirimkan lambat di antarkan Pak Pos. Sebagai anak kos bisa “menderita”.

Dua hari lalu ustadzah pembimbingnya mengirimkan file soft copy TA draf buku ananda hampir 30 halaman.

Saya baru membacanya sekilas, sangat menarik, lengkap dengan footnote dan sumber refrensinya. Pembahasannya runut dan tidak kaku.

Draf buku ini membahas soal seputar remaja dari sudut pandang Islam. Kutipan Hadist dan Ayat Alquran juga lengkap sebagai landasan teologis dan penguat argumentasi. Saya diminta menjadi editor draf tersebut.

Baca Juga  Pj Bupati Banyuasin Titip Pesan Ini Dalam Pelaksanaan MTQ Tingkat Kabupaten ke-XII

Dari sekilas membacanya, cukup fokus dan detail. Bahasanya pun segar ala anak remaja. Termasuk ada juga beberapa istilah remaja kekinian yang membuat tulisan tersebut terasa segar.

Draf tersebut jika sudah diedit maka akan diterbitkan menjadi buku. Tadi pagi saya membaca lagi secara sekilas, sebelum menyiapkan putra kami lainnya yang akan berangkat mengikuti upacara Hari Santri Nasional.

Draf buku ini dan karya santri lainnya menjadi semacam kado Hari Santri Nasional. Santri orang-orang hebat. Yang kelak menjadi generasi terbaik untuk peradaban terbaik.

Selamat Hari Santri Nasional: Sabtu, 22 Oktober 2022. Selamat ananda atas TA/draf bukunya, bersyukur menjadi santri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *