Benteng Terakhir: Jika Teluk Kelabat Hancur Kami Pun Ikut Hancur

Oleh : Wahyu Kurniawan

NELAYAN Teluk Kelabat Dalam merupakan Benteng terakhir yang masih bertahan dari gempuran pelaku tambang illegal. Tak heran bilamana wilayah tangkap dihadang oleh Ponton Isap Produksi (PIP), nelayan langsung bereaksi.

Hal itu dapat dilihat dari aksi unjukrasa Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam di Mapolda Bangka Belitung (Babel), Selasa (12/12/2023), kemarin.

Tak hanya demo ke Mapolda, para nelayan juga mengadukan nasib mereka ke Pj Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Safrizal.

Demo yang dilakukan nelayan ini merupakan bentuk perjuangan yang telah dilakukan sejak para orangtua mereka dari puluhan tahun lalu.

Ya, pengusiran dan larangan agar tidak adanya penambangan di kawasan Teluk Kelabat telah dilakukan sejak dulu. Berbagai cara juga telah dilakukan para tetua kampung nelayan di sana.

Mulai dari unjuk rasa ke Kantor Bupati Bangka, DPRD Bangka sampai dengan melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap alat alat tambang ilegal yang beroperasi di sana.

Tapi semuanya belum membuahkan hasil. Barulah sekarang ada angin segar yang dihembuskan Penjabat Gubernur Bangka Belitung.

Pejabat di Kementerian Dalam Negeri RI yang ditugaskan mengisi kekosongan pimpinan tertinggi di Bangka Belitung karena habis dan menunggu Pilkada Serentak berjanji akan menyelesaikan masalah yang telah lama menyangsarakan nelayan Teluk Kelabat Dalam.

Seperti yang pernah dituliskan Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung yang dipublis di Situs Berita Lingkungan Mongabay, upaya penyelesaikan persoalan penambangan liar Kawasan Teluk Kelabat ini tidak hanya dilakukan masyarakat nelayan yang menerima dampak langsung dari aktifitas yang merusak lingkungan itu. Tapi juga dilakukan kalangan praktisi lingkungan dan akademi melalui tulisan tulisan dan penelitian yang dilakukan.

Tanah Leluhur

Haji Armin keturunan ke delapan dari sebuah keluarga yang menetap di Desa Pangkal Niur mengatakan perjuangan menolak penambangan ini telah berlangsung lama. Setidaknya dimulai sejak gerakan menolak penambangan timah di Teluk Kelabat yang digulirkan pada 2014. Masyarakat yang menolak tambang timah tetap teguh dengan pilihannya.

Haji Armin menyebutkan Kawasan Teluk Kelabat adalah tanah leluhurnya. “Di sana beberapa leluhur kami dimakamkan, masih bisa dilihat kuburannya. Itulah mengapa kami begitu perduli dan sayang Teluk Kelabat. Tanah ini tanah leluhur kami, harus dijaga dan dipertahankan agar dapat diwariskan kepada anak cucu nanti,” katanya.

Dia dan nelayan, berupaya menjaga dan mempertahankan sebagian wilayah Teluk Kelabat Dalam dengan berbagai cara, mulai aksi damai sampai memilih jalur hukum.

“Kami sudah sering demo menolak pertambangan timah, mulai di Kantor Bupati Bangka, DPRD Kabupaten Bangka, sampai Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi. Meskipun sudah direspons dengan melakukan penertiban, tetap saja penambangan masih berjalan,” kata Arafik (45).

Perlawanan dan pengusiran penambang pun dilakukan dengan berbagai cara.

“Bahkan, kami pernah sampai perang pakai betet (ketapel) melawan penambang timah. Kami tidak takut karena kami mempertahakan laut kami. Jadi kalau kami, ibu-ibu, diajak demonstrasi sudah biasa, yang penting penambang timah keluar dari laut Teluk Kelabat,” ujar Saini.

Baca Juga  Nelayan Desak Aparat Tegas, Ratusan Ponton Masih Beroperasi di Teluk Kelabat Dalam

Nelayan, tambah Arafik, juga pernah sampai membakar delapan ponton penambang timah di tengah laut. Itu dilakukan karena merasa penertiban oleh aparat pemerintah belum efektif. Bahkan, para penambang semakin berani masuk ke wilayah yang disepakati untuk tidak ditambang.

Dampak lain yang tidak dapat dihindari akibat rusaknya sumber daya perarian dan laut di Teluk Kelabat adalah konflik horizontal di masyarakat. Ada kelompok yang menolak dan ada yang menerima penambangan timah.

Dikucilkan

Ada cerita menarik dari Desa Pangkal Niur. Awalnya, masyarakat kompak menolak penambangan timah di wilayah Teluk Kelabat Dalam. Namun, setelah pemilihan kepala desa pada November 2021 lalu, muncul kelompok masyarakat yang pro penambangan.

Mereka yang mendukung, mulai dikucilkan oleh masyarakat yang menolak, sebagai sanksi melanggar kesekapatan.

Sumarlan (65), seorang warga Desa Pangkal Niur menuturkan kekecewaannya kepada sebagian masyarakat yang sekarang menambang. Padahal, mereka dulunya ikut berjuang bersama.

Sebagai sanksi, ketika terjadi kemalangan di keluarga mereka, tidak banyak masyarakat yang datang. Bahkan, jika bertemu pun tidak lagi tegur sapa.

“Sebenarnya, kami sangat prihatin tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Selain melawan pihak luar, kami juga berhadapan dengan saudara sendiri,” tuturnya.

Tambang Liar Ancaman

Akademisi dari Universitas Bangka Belitung Dr. Fitri Ramdhani Harahap dalam tulisannya juga memuat beberapa penelitian yang pernah dilakukan para kalangan aktivis dan akademi.

Salah satunya adalah Yonik Meilawati Yustiani dalam tulisannya “Pengaruh Aktivitas Penambangan Timah Oleh Kapal Keruk Terhadap Kualitas Parameter Fisik (Kekeruhan, TSS, Suhu) Air Laut Diteluk Kelabat Belinyu Kabupaten Bangka”, menjelaskan pertambangan timah lepas pantai merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem terumbu karang.

“Aktivitas pertambangan timah dari kapal keruk, kapal isap dan tambang inkonvensional Apung menyebabkan penutupan polip-polip karang oleh sedimen yang terbawa ke pesisir. Hal ini membuat kondisi karang mengalami kematian massal,” tulisnya.

Hal ini seperti disampaikan sejumlah masyarakat di sekitar Teluk Kelabat. Misalnya, Desa Pangkal Niur, Desa Riding Panjang, Desa Pusuk, serta Desa Beruas.

Beberapa tahun terakhir, nelayan tidak lagi menikmati hasil laut berlimpah. “Kerang yang biasanya mudah dicari di tepi pantai dan beting-beting saat air surut, sekarang semakin susah didapat karena banyak yang mati. Jika ada, isinya pasti kecil,” kata Saini (51).

“Udang biasanya bisa ditangkap dalam dua jam dengan hasil kurang lebih 20 kilogram. Kini, setengah hari hanya dapat empat ekor. Rajungan yang dulu mudah dicari, semakin susah didapat, apalagi untuk mendapatkan ikan-ikan besar, sudah semakin sulit,” kata Arafik (45), nelayan dari Desa Pangkal Niur.

Rumah’ 7 Suku Melayu

Ketua Nelayan Riding Panjang dan Pembina Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam, Wisnu Sudiro, mengatakan, Teluk Kelebat menjadi sumber penghidupan dan ‘rumah’ bagi 7 Suku Melayu. Yakni, Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kadalek dan Suku Empeng.

Baca Juga  Prioritas Rehabilitasi Magrove, Sembilan Gubernur Teken Komitmen di Hadapan Presiden

Setidaknya 12 desa berhubungan langsung dengan Teluk Kelabat.
Diwilayah inilah menjadi wilayah tangkap nelayan kecil dengan mengunakan alat sederhana seperti perahu kayu bermesin tempel, jaring, pancing dan bubu.

Namun sejak tahun 2014 mereka berjuang melawan penambangan laut liar. Penambang liar ini semakin marak sering beroperasinya Kapal Isap Produksi (KIP).

“Udang yang biasanya menjadi tangkapan utama kami, sekarang sulit didapat karena habitatnya terganggu aktivitas penambangan timah. Terpaksa, kami pergi lebih jauh ke seberang Pulau Dante,” kata Wisnu.

Meskipun perlawanan terus dilakukan namun penambangan liar terus berlangsung. Penambangan liar ini juga mengacak acak dan mengancam kelestarian Teluk Kelabat, yang dijaga oleh tujuh Suku Melayu selama berabad abad.

“Jika Teluk Kelabat rusak, maka keberadaan tujuh Suku Melayu yang hidup harmonis dengan alam juga akan terancam,”ujar Wisnu.

Sejak 2014, puluhan ribu warga yang menetap pada belasan desa di tepian Teluk Kelabat, berjuang membebaskan Teluk Kelabat dari aktivitas penambangan timah laut.

Puluhan ribu warga tersebut merupakan keturunan tujuh suku melayu di Pulau Bangka, yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Kerieng, Suku Ketapik, SukuKedalek dan Suku Empeng.

Pada 1 Mei 2021 lalu, berlangsung aksi berujung bentrokan antara masyarakat dengan penambang Teluk Kelabat, satu rumah di Pangkalan Niur Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka, dibakar warga.

Rumah tersebut merupakan mess para penambang timah liar. Bentrokan tersebut juga menyebabkan sejumlah warga dan penambang mengalami luka-luka.

Aksi penolakan tersebut dikarenakan masih adanya kegiatan penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat. Padahal, berdasarkan Perda No.3 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau –Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, dinyatakan bahwa Teluk Kelabat Dalam tidak masuk dalam zona Pertambangan.

Pasca bentrokan tersebut, Polres Bangka menyatakan penambangan timah di Teluk Kelabat Dalam adalah illegal. Kepolisian dan TNI AL berulang kali melakukan penertiban penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat.

Namun sayangnya, setelah dilakukan penertiban aktivitas penambangan timah illegal tersebut kembali marak. Hal inilah yang terus terusan sampai saat ini terjadi. Berbagai upaya terus dilakukan nelayan dalam mempertahankan wilayah tangkap, disatu sisi para pelaku tambang liar juga mengunakan berbagai cara agar mereka bisa benas menambang.

Kini harapan masyarakat yang sekarang dimotori oleh Wisnu selaku Ketua Nelayan Teluk Kelabat Dalam bersama nelayan lainnya menunggu janji yang disapaikan Penjabat Gubernur Bangka Belitung Safrizal Zakaria Ali.

Simbol Keharmonisan

Teluk KElabat dengan luas 32,9 ribu hektar. Teluk ini terdapat dua cekungan. Cekungan pertama Nutara yang menghadap Laut Natuna. Sebutannya Teluk Kelabat Luar (16,6 ribu hektar).

Cekungan kedua (Selatan) merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Maras. Dinamakan Teluk Kelabat Dalam (16,3 ribu hektar).

Posisi teluk ini di depan Gunung Maras. Sehingga ketika berada di perairan Teluk Kelabat seakan terus diawasi Gunung Maras yang notabene bukit tertinggi di Kepulauan Bangka Belitung. Tuingginya mencapai 705 meter.

Baca Juga  Ngobrol Santai bersama Kombes Pol Agus Tri Waluyo

Ada 12 desa di pesisir Teluk Kelabat

Desa Pusuk, Tuik, Beruas, Rukam, Semulut, Kampit dan Baki yang masuk Kabupaten Bangka Barat. Sebagian lagi adalah Desa Berbura, Pangkalan Niur, Bukit Tulang, Riding Panjang dan Belinyu Kabupaten Bangka.

“Semua merupakan pemukiman dari Tujuh Suku Melayu di Pulau Bangka, yakni Suku Maras, Suku LomSuku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek dan Suku Empeng,”ujar Maryono.

Laut Adat

Selama belasan abad, atau jauh sebelum aktivitas penambangan timah di Pulau Bangka, tepatnya di era Kesultanan Palembang dan Pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris, berbagai suku ini memanfaatkan perairan Teluk Kelabat sebagai sumber makanan dan ekonomi.

“Peran Teluk Kelabat merupakan media komonikasi antar Suku Melayu di sini. Di perairan ini kami tidak pernah konflik, kami saling menghormati. Bahkan, etnis Tionghoa juga dapat memanfaatkan Teluk Kelabat. Dapat dikatakan perairan ini simbiol keharmonisan berbagai suku yang hidup di sepanjang telian Teluk Kelabat. Ini Laut adat kami,”jelas Maryono.

Aturan Adat Masih Berlaku

Berbagai aturan adat diberlakukan tujuh suku di Teluk Kelabat, hingga saat ini. Misalya, menangkap ikan hanya mengunakan jarring, pancing, menombak dan bubu. Jaring dan bubu yang digunakan tidak boleh ditinggalkan terlalu lama (melewati satu hari), sebabab berbagi ruang dengan nelayan lain.

Yasrizal warga Beruas pernah menuturkan,”Secara adat, disini kami sepakat tidak menggunakan alat tangkap skala besar seperti trawl, bom ikan, racun dengan bahan kimia, dan lainnya. Pada intinya, sepakat melestarikan laut Teluk Kelabat,”jelasnga.

Bagi Suku Melayu Pesisir Teluk Kelabat Masyarakat Bahari

Bagi Suku Melayu di pesisir Teluk Kelabat merupakan masyarakat bahari. Mereka memanfaatkan daratan dan laut sebagai sumber pangan dan ekonomi. Di darat, mereka berkebun lada, karet, buah, serta menanam padi. Sementara di laut mereka mencari ikan.

“Jadi, jika perairan Teluk Kelabat ini dirusakoleh penambangan timah ekonomi merusak lainnya, itu artinya sama dengan menghancurkan keberadaan tujuh Suku Melayu di sekitar Teluk Kelabat. Teluk ini bukan semata sumber pangan dan ekonomi, tapi merupakan bagian dari budaya kami, identitas kami,”jelas Maryono.
Jika Teluk Kelabat Hancur Kamipun Hancur

Sujumlah tokoh dari berbagai suku di perairan Teluk Kelabat, yang bertemu dengan mangobay Indonesia di Pulau Nenas, sebuah pulau yang berada di Teluk Kelabat, menyatakan akan terus berjuang membebaskan laut adatnya dari penambangan timah.

“Secara adat, kami warga di sini sepakat untuk bersama melestarikan laut Teluk Kelabat. Ini merupakan amanah dari leluhur. Jadi, kami akan terus berjuang mempertahankan teluk ini dari kerusakan, terutama dari penambangan timah,”kata Yusrizal beberapa waktu lalu.

“Kami juga meminta pemerintah untuk ikut bersama menjaga menjaga Teluk Kelabat Dalam dari ancaman tambang liar. Bila penambang timah dibiarkan, jelas akan merusak terumbu karang, mangrove beserta ikkan-ikannya. Jika Teluk Kelabat hancur kami pun hancur,”jelasnya. (berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *