Hari Konstitusi Republik Indonesia: Deteriorasi Reformasi

Penulis : Ramsyah Al Akhab

(Kabid Pembinaan Umat HMI Cabang Bangka Belitung Raya)

“Hukum adalah produk politik.” Kutipan tersebut berasal dari salah seorang tokoh politisi dan juga akademisi di Indonesia yaitu Mahfud MD. Dari kutipan itu, secara tidak langsung kita diajak untuk melihat hukum dari sisi yang berkonotasi negatif karena hukum telah jadi mainan politik. Tentu menjadi pertanyaan untuk kita, apakah benar hukum hari ini telah jadi alat para elit politik di Indonesia hanya untuk kepentingan politik?

Menyelami esensi Hari Konstitusi Republik Indonesia, tepatnya sehari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kita sebagai anak bangsa Indonesia yang bertanggung jawab mengisi kemerdekaan diminta untuk dapat merefleksi kembali nilai-nilai dari salah satu pilar kebangsaan yaitu konstitusi beserta turunannya berupa hukum di Indonesia.

Sekilas tentang sejarah Hari Konstitusi Republik Indonesia, menurut Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 3 tahun 2009, gagasan awal diperingatinya Hari Konstitusi Republik Indonesia berawal dari artikel Mochamad Isnaeni Ramdhan, yang berjudul “Hari Konstitusi Indonesia” dalam Harian Suara Karya, pada Jumat, 15 Agustus 2008 yang kemudian memantik presiden beserta badan pemerintahan yang lain untuk menetapkan 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi Republik Indonesia. Dalam Jurnalnya, Ramadhan menuliskan pentingnya konstitusi bagi landasan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemudian juga menyinggung pentingnya merefleksikan gagasan para founding fathers yang merancang dan mengesahkan konstitusi Indonesia, dalam bentuk Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari pasca kemerdekaan, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945.

Lalu setelah berjalan 76 tahun kemerdekaan Indonesia, bagaimana kondisi hukum di Indonesia? merujuk hasil penelitian indeks supremasi hukum (rule of law index) yang dirilis World Justice Project tahun 2020 terkait keberhasilan penegakan hukum yang adil, Indonesia menduduki peringkat 59 dari 128 negara, atau peringkat 9 dari 15 negara di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Sementara penelitian survei Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020, memperlihatkan angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64 persen. Tertinggi jika dibandingkan bidang lain, seperti ekonomi 57 persen, politik dan keamanan 51 persen, serta bidang sosial dan humaniora 50 persen.

Baca Juga  Buronan Kejati Babel Ditangkap Tim Kejagung, Terpidana Korupsi Proyek Gedung Dispenda Belitung

Kondisi ini jelas memperlihatkan kepada kita bahwa penegakan hukum di Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Sebagai negara hukum, kita telah kehilangan etika dasar dari supremasi hukum, yang kemudian menyebabkan penegakan hukum di Indonesia “tajam ke bawah tumpul ke atas” sehingga menyuburkan para mafia hukum yang lancar memperjualbelikan hukum kepada mereka yang sanggup membayar.

Keadilan akan jadi barang sukar bila hukum hanya diperuntukkan bagi mereka yang sanggup membayar. Maka, guna merevitalisasi gairah supremasi hukum diperlukan kerja sama dari semua elemen masyarakat negara hukum.

Baik dari pembuat hukum, penegak hukum, dan pelaksana hukum. Kekuasaan yang dilimpahkan kepada pembuat hukum jangan digunakan sewenang-wenang. Pembuat hukum dalam hal ini legislatif harus mampu berkolaborasi dalam merancang hukum yang se-ideal mungkin untuk kemanusiaan. Karena pada dasarnya, seorang ahli hukum belum tentu bisa membuat hukum yang baik. Apalagi anggota legislatif yang kebanyakan bukan berasal dari bidang disiplin ilmu hukum. Kemudian, penegak hukum sebagai tonggak hukum harus mampu bersikap profesional.

Sebagaimana maraknya yang sedang terjadi adalah tebang pilih hukum. Terakhir adalah elemen dari pelaksana hukum yaitu masyarakat. Masyarakat sebagai pelaksana tentu paling sering yang memainkan peran menjadi korban politik. Tetapi dari sudut pandang lain, juga sering kali justru yang turut serta membantu pelemahan penegakan hukum adalah masyarakat. Masyarakat sebagai pelaksana hukum harus siap melaksanakan dan menerima sanksi sesuai hukum bila melanggar hukum tersebut. Jangan sampai turut serta jual beli hukum bila terkena sanksi hukum.

“Ubi societas ibi ius,” perkataan tersebut dinyatakan oleh seorang filsuf terkenal dari Roma yaitu Marcus Tullius Cicero yang artinya “Dimana ada masyarakat disitu ada hukum”. Dari kutipan tersebut kita disadarkan bahwa sebuah hukum pada esensinya muncul dari lingkaran kecil yaitu masyarakat.

Baca Juga  Desa Riding Panjang Budidaya Ikan Nila di Kolong Eks Tambang Timah

Menilik Indonesia yang begitu luas dan sarat pluralisme maka sebuah keniscayaan bahwa dari Sabang sampai Merauke Indonesia memiliki ragam hukum-hukum yang berbeda atau biasa kita sebut sebagai hukum adat atau sejenisnya. Kayanyanya suku, agama, ras, dan budaya ini akan melahirkan hukum-hukum regional yang sarat akan nilai setempat.

Sebagai negara kesatuan kita didoktrin dengan nilai keseragaman. Sehingga hukum-hukum yang akan mengatur seluruh wilayah Indonesia dibuat oleh pemerintah pusat dengan alasan kesatuan.

Pemerintah dengan sistem sentralisasi memang mampu memperpendek birokrasi tetapi sayangnya tidak mampu menampung aspirasi daerah-daerah yang beragam. Sehingga akan melahirkan hukum-hukum yang tidak selaras dengan kebutuhan dan nilai-nilai dari suatu regional. Atas dasar inilah salah satu semangat yang dilahirkan oleh era reformasi adalah otonomi daerah.

Otonomi daerah diharapkan mampu melahirkan sebuah wilayah yang mandiri. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah tersebut, pemerintah diberikan beberapa hak yang bisa dilaksanakan. Mulai dari menyusun pengaturan pemerintahan, memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, hingga mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

Hal ini sejalan dengan teori hukum Von Savigny Hukum yang menyatakan “Das Recht wird nicht gemacht, es it und wird mid dem V Bolke” yang artinya hukum tidak di buat, tetapi tumbuh dan berkembang di dalam masyrakat. Sehingga untuk membuat hukum, menurut Von Savigny adalah harus berasal dari kajian mendasar kebudayaan masyarakat. Adanya otonomi daerah lebih memudahkan pemerintah untuk membuat hukum yang didasarkan pada kebutuhan dan nilai-nilai setempat.

Bila dilihat dari sisi otonomi daerah, dewasa ini semangat akan reformasi sedang melemah atau lebih tepatnya dilemahkan. Hal itu terlihat jelas di depan mata dengan adanya upaya sentralisasi pemerintah yang diselipkan melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law dan Revisi UU Minerba.

Begitu banyak daerah yang yang terdampak dari kebijakan sentralisasi ini salah satunya adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Belitung sebagai daerah yang kaya akan mineral timah dan juga mineral ikutan lainnya, mengalami konflik berkepanjangan antara nelayan dan penambang timah laut di berbagai daerah kawasan pesisir Bangka Belitung. Sekilas, konflik tampak hanya memperlihatkan pertikaian antara penambang dan nelayan saja tetapi konflik yang berkepanjangan ini juga turut dipengaruhi karena adanya Revisi UU Minerba.

Baca Juga  77 Ribu Pelanggan PLN Babel Terima Stimulus Listrik Hingga Desember

Konflik nelayan dan penambang adalah lagu lama dengan kaset baru. Salah satu usaha penyelesaiannya adalah dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tetapi sayangnya kebijakan ini tidak sampai ke lingkaran nelayan yang terdampak pertambangan sehingga masih banyak wilayah yang tumpang tindih.

Semenjak disahkannya Revisi UU Minerba maka segala bentuk pengelolaan sumber daya alam berupa timah di Bangka Belitung dikembalikan kepada pemerintah pusat. Alhasil tidak ada lagi daya pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayah sendiri.

Segala bentuk tuntutan masyarakat nelayan berupa zero tambang di wilayah tangkap nelayan, pencabutan SPK (Surat Perintah Kerja) penambang, dan juga penghapusan IUP (Izin Usaha Penambangan) di wilayah yang secara turun-temurun telah menjadi wilayah hidup nelayan tidak dapat disampaikan dengan total karena terbentur birokrasi dan jarak. Akhirnya, konflik yang terjadi terus berkepanjangan, terus memakan korban masyarakat, tanpa ada solusi pasti.

Revisi UU Minerba sangat tampak sebagai produk politik. Semangat Revisi UU Minerba juga tidak selaras dengan amanat reformasi berupa otonomi daerah. Masyarakat Bangka Belitung tidak lagi memiliki hak untuk dapat mengelola kekayaan alam secara mandiri untuk kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung. Sehingga wilayah Bangka Belitung hanya jadi ladang eksploitasi pemerintah pusat.

Bila berkaca pada makna hukum Von Savigny, sangat jelas bahwa hukum yang tersentralisasi tidak mampu mengimplementasikan kebutuhan dan nilai-nilai hukum di Bangka Belitung yang dapat terlihat dari tidak terselesaikannya konflik-konflik antara nelayan dan penambang. Oleh karena itu sudah sepatutnya hak untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri dikembalikan kepada pemerintah daerah. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *