KASUS penyelundupan timah lewat Pelabuhan Tanjung Kalian, Mentok, Kabupaten Bangka Barat, patut menjadi perhatian dari publik. Modus baru setelah gagal lewat pelabuhan tikus di Jebus, Bangka Barat.
Betapa tidak? Aksi itu baru sopir truk bermuatan 4 ton timah jenis batangan dan pasir yang ditetapkan tersangka dan disangkakan Pasal 161 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara:
“Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Ancaman yang tidak main-main. Padahal Sang Sopir cuma mendapat upah Rp28 juta untuk sekali angkut.
Di tengah Kejaksaan Agung sedang menangani kasus besar korupsi timah Rp300 triliun, ternyata praktek timah ilegal masih terus berjalan.
Setidaknya beberapa bulan terakhir praktek itu terungkap penyelundupan timah di Jebus lewat jalur laut, penangkapan pasir timah dari Permis, dari Belitung ke Bangka dan teranyar dari Pulau Bangka ke luar pulau lewat Tanjung Kalian Mentok.
Dari beberapa kasus itu, yang ditetapkan tersangka sopir dan kernet. Tentu saja penetapan orang upahan itu menjadi tanda tanya besar bagi publik.
Mengapa pemilik barang dan penerima barang kiriman itu tidak tersentuh?
Apakah memang sulit untuk mengungkapnya atau membongkar jaringan pemain timah illegal itu? Atau ada apa?
Tentu saja sejumlah pertanyaan bisa terus diberondong mengenai tidak tersentuhnya pemilik dan penerima barang illegal itu.
Padahal jika sekelas sopir, kernet dan kuli pikul bisa dikenakan dengan sangkaan pasal yang begitu berat itu, apalagi mata rantai penyelundupan yang lebih bertanggung jawab atas timah illegal.
Mereka lebih layak diseret ke pengadilan dengan ancaman yang lebih berat.
Kasus penyelundupan timah lewat Tanjung Kalian dengan modus memanipulasi manifest tiket kapal membawa buah-buahan atau ikan asin bisa jadi bukan yang pertama kali dilakukan. Polisi harus berani dan transparan mengungkap kasus ini.
Membongkar sampai pada siapa pemilik, penerima tujuan barang yang dikirimkan dan jaringan atau mata rantai penyelundupan timah.
Tak boleh hanya berhenti di sopir, kernet atau operator lapangan. Indonesia adalah negara hukum. Tak ada yang kebal hukum. Semua memiliki kedudukan yang sama di mata hukum! (*)