Ibrahim Dikukuhkan Jadi Guru Besar FISIP UBB Bidang Ilmu Politik

BALUNIJUK – Ibrahim secara resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (FISIP UBB) pada Kamis, 25 Januari 2023.

Pengukuhan Guru Besar diikuti dengan orasi ilmiah Prof.Dr. Ibrahim, M.Sc dengan tema “Konstelasi Elektoral Dalam Bayang-bayang Politik Identitas: Dari Instrumentasi, Inosensi, ke Konsolidasi Demokrasi” di Kampus UBB, Balunijuk, Kabupaten Bangka.

Prof. Ibrahim adalah Guru Besar pertama yang dilahirkan UBB.

Prof.Dr. Ibrahim, M.Sc dalam orasi pengukuhan guru besar menyampaikan, Pemilu dan Pilkada serentak semakin dekat, 2024 jika tak ada aral melintang.

Yang terdekat juga adalah bayang-bayang poliyik identitas. Ramai para tokoh politik berbagai kalangan mulai meramalkan nasib kontestasi elektoral bayang-bayang politisasi identitas.

Tidak heran, karena hampir dalam setiap pemilu, pun juga pilkada, terakhir paling ekstrim pada Pemilu 2019, politik identitas telah memecah anak bangsa dalam dua kutub kekuatan yang seakan-akan tidak bisa didamaikan.

Baca Juga  6.307 Orang di Kabupaten Belitung Sudah Divaksin Covid-19 Dosis Ketiga

Dalam berbagai platform media, utamanya media sosial, framing partisansif merebak tidak terhindarkan. Perdebatan-perdebatan panjang mengerucut pada upaya membangun citra dan menegasi sekalian.

“Grup-grup whatsapp menjadi platform yang paling mengerikan, karena sifatnya yang semi terbuka, dominasi dan agresi lebih nyata dipertontonkan. Belum-belum agama sudah menjadi arena pertarungan yang paling laris manis,” jelas Prof.Ibrahim.

Keretakan idielogis antara pluralis dan kaum islamis terjadi secara mendalam setidaknya dalam dua pemilu terakhir.

Meski demikian, Ibrahim mengatakan betulkah sebenarnya kaum pluralis memang berperilaku pluralis, islamis berperilaku islamis, kanan adalah kanan dan kiri adalah kiri? Atau, kata Ibrahim, ini hanya soal pragmatisme narasi dalam rangka mendapatkan kekuasaan?

Baca Juga  Menteri Perdagangan dan Wagub Babel Lepas Ekspor Produk Perikanan PT Pasti Bangun Jaya

“Siapa memperalat siapa sebetulnya? Pertanyaan ini penting untuk memulai diskusi kita soal politik identitas,” kata Ibrahim.

Lebih jauh ia mengatakan, jika melongok sejarah panjang kontestasi elektoral di Indonesia, identitas seperti menjadi aroma yang tidak terhindarkan. Hanya saja, jika dulu politik identitas dalam sejarah pemilu lebih beraroma idiologis dan bernuansa politik aliran, dalam beberapa pemilu belakangan suasana bergeser menjadi lebih ke arah primordial.

“Mempersoalkan hal yang bersifat kodrati, namun konteksnya lebih pragmatis dan tidak lebih idiologis,” kata Ibrahim.

Lebih jauh dikatakan Ibrahim, hal ini berjalan seiring dengan memudarnya kadar politik idiologis di kalangan pemilih.

Kemudian Ibrahim menyampaikan, jika pada era Orde Baru dibungkus dengan terma nasionalisme, pasca Orde Baru lebih karena kepentingan otonomi kedaerahan maupun perjuangan kelas, telah membangun kotak-kotak baru.

Baca Juga  Solar Diduga Ilegal Dari Truck BG 1710 XL, Dirkrimsus: Kita Buru Bos nya dan Kita Akan Tangkap

Kondisi ini, menurut Prof.Ibrahim telah mendorong pengerasan identitas karena adanya produksi secara komunal. Tentu saja ada upaya untuk mempertahankan, merebut dan memperjuangkan sebagai bagian dari klaim atas identitas yang dianggap pernah hilang.

Dampaknya, kontestasi elektoral terasa berbau lokalisme, terutama di ruang-ruang yang amat dekat dengan pilihan para voters (pemilih).

“Para kandidat dan timnya, baik eksekutif, legislatif berlomba-lomba memasukkan instrumen identitas untuk mendorong pengelompokkan dukungan. Pada aras yang lebih luas, politik identitas memgalami kristalisasi secara akumulatif, tentu saja pada pemilu secara nasional yang akhirnya seperti sedang membelah diri menuju transaksi identitas. Praktik amuba ini terjadi secara dramatis di lokal maupunn nasional,” kata Prof. Dr. Ibrahim, M.Si. (fh)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *