Setelah Senen: Kelebihan Lauk dan Ganti Rugi Sepatu

Catatan Fakhruddin Halim

BUS Handoyo bergerak perlahan meninggalkan Pulo Gebang, Jakarta menuju Malang, Jawa Timur.

Kontingen Porwanas XIII PWI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sebelumnya gagal naik KA Jayabaya Ekonomi, kini tampak lega.

Saya, Antony Ramli, Wahyu Kurniawan, Juliadi atau Abote, Herdian Farid Effendi, Budi Marsudi, Sapriadi dan seorang kawan lainnya tak bisa menyembunyikan kegembiraan.

Baca: Tertahan Boster di Senen

Begitu duduk di kursi masing-masing wajah mereka langsung berseri-seri. Canda dan tawa terdengar riuh.

“Untuk makan malam, aman. Ada jatah untuk setiap penumpang,” ujar Antony, terkekeh.

Langsung disambut yang lainnya dengan mengacungkan dua jempol. “Nah, ini baru mantab,” timpal Farid, tersenyum.

Bus melaju meninggalkan Jakarta. “Sepatu saya ketinggal di Loket Stasiun Senen,” ujar Wahyu dengan mimik wajah memelas.

Wahyu tampak murung. Sepatu itu baru sekali ia pakai. Dan sebelum berangkat terlebih dahulu ia laundry.

“Saya punya kenangan dengan sepatu itu. Kalau harganya tak seberapa, cuma Rp950.000. Tadi sebelum berangkat saya ambil di laundry biar bersih dan wangi. Tempat saya berlaga E-sport di Cyber Mall,” ujarnya pelan.

“Kalau sampai gak ketemu dengan sepatu itu, saya minta ganti rugi ya. Harus itu,” katanya memalingkan wajahnya ke saya.

Baca Juga  Molen Hadiri Rapat Kerja Pimpinan DMI Kota Pangkalpinang

Saya pun balik bertanya mengapa harus saya yang mengganti ruginya? Bukankah itu adalah kelalaian dia? “Kok aku yang harus tanggung jawab?” protesku.

Sepatu itu memang tidak Wahyu masukkan ke tas pakaian. Tapi ditenteng dalam kantong plastik. Barangkali karena terburu-buru harus ke Pulo Gebang, lupa dan tertinggal di loket.

Antony menyarankan menghubungi pihak loket melalui nomor telepon yang baru saja menelepon memastikan proses peggantian tiket KA.

“Biar saya coba telepon Bang Jon, supir taksi tadi yang mengantar, biar dia juga ikut ngecek. Sekaligus kalau ada biar dia saja yang ambil dan nanti tinggal kita minta bantu mengirimkannya, kita kasih biayanya,” katanya.

Wahyu dan Antony tampak sibuk berbicara lewat telepon dengan orang yang ada di seberang. Selang beberapa saat keduanya tampak manggut-manggut, tersenyum.

“Pokoknyo kalau dengan Bang Jon beres. Sepatu ada, tinggal teknis pengiriman,” kata Antony.

Wahyu tampak membelalakkan mata ke androidnya. Rupanya mendapat telepon video call dari petugas loket.

“Iya mas, benar, benar itu sepatunya. Iya titip sama Bang Jon, terima kasih ya mas, terima kasih Bang Jon,” katanya, tersenyum.

Jakarta kian gelap. Lampu-lampu di kedua sisi jalan dan di gedung-gedung menjulang angkuh tampak benderang.

Baca Juga  Hanya Satu Perempuan

Sebagian kawan tampak tertidur pulas di bawah selimut. Sebagian lainnya masih mengobrol dan menatap layar android sembari jempol bergerak lincah.

Memasuki Indramayu. Bus berhenti di salah satu rumah makan berhalaman luas. Kami turun paling akhir karena kursi berada di paling belakang.

Rumah makan itu tidak terlalu ramai. Hanya satu dua bus terparkir. Restoran itu menyerupai aula terbuka yang cukup luas. Tempat makanan berjejer di atas meja memanjang.

Kami ikut mengantri. “Ini gratis, jatah makan dari pihak bus,” Antony membalikkan badannya ke saya.

“Gratis ya, mantab,” kata saya.

Di atas meja itu urutannya piring dan sendok, wadah nasi, wadah ayam semacam digulai, telur rebus dengan kuah santan, sambal kentang, sayuran, wadah yang tinggal remah-remah sambal, teh tawar dan teh manis.

Petugas restoran berdiri diseberang meja dekat wadah lauk ayam dan telur tampak mengawasi setiap pengantri mengambil lauk.

Tiba giliran, saya langsung mengambil satu potong ayam berukuran dua jempol orang dewasa.

Begitu melewati wadah telur, saya pun memgambil sebutir dan meletakkan ke atas tumpukan nasi di piring. Namun petugas menegur.

“Maaf pak, lauknya satu satu. Maksudnya pilih salah satu, ayam atau telur, tidak boleh dua,” katanya sopan.

Baca Juga  Pakai Ilmu Belitong, Doktor Ini "Terbang" di Padang Lumut

Saya menjadi salah tingkah dan segera mengembalikan telur tersebut. Antony tak bisa menahan tawanya. “Ha ha ha ha.”

Selepas Subuh, Senin, 21 November 2022, bus memasuki Surabaya. Dua puluhan tahun lalu dari Yogyakarta saya bersama kawan-kawan mahasiswa mengelilingi Jawa Timur mengendarai sepeda motor.

Di sejumlah sisi jalan pagi itu tampak bunga aneka warna mekar. Mirip bunga Sakura. Gunung tampak anggun dengan puncak diselimuti awan.

Hamparan sawah menghijau. Sepanjang perjalanan menuju Malang beberapa kawan tampak mengambil potret pemandangan alam yang meneduhkan hati.

Kota Malang, pagi itu baru menggeliat. Bus berhenti di sisi salah satu jalan. Kami pun turun dan memesan Grab menuju hotel masing-masing.

Saya meminta supir agar lebih cepat. Pagi itu saya harus bergegas ke hotel untuk mandi dan beganti pakaian. Pukul 08.00 Wib, harus sudah sampai di Grand Mercure mengikuti Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PWI.

Di sejumlah titik sepanjang jalan menuju tempat saya menginap sejumlah spanduk berwarna hitam dengan tulisan merah menyala terbentang: #Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan! (*)

Malang, Jumat, 25 November 2022.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *