Anak Dalam Berita #3

Oleh: Romlan
Asesor di PWI

Kebebasan dibatasi oleh aturan dan etika. Dan tidak semua fakta boleh dibuka ke publik. Dua kalimat itu selalu penulis sampaikan kepada rekan-rekan wartawan pada setiap kesempatan.

Seperti yang sudah diuraikan pada tulisan sebelumnya, batas usia anak yang disepakati dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia, sudah menikah atau belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak, yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, identitas keluarga serta keterangan pendukung seperti alamat tempat tinggal, sekolah, perkumpulan atau organisasi yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.

Nah, belum lama ini sejumlah media memuat berita seorang pelajar yang merupakan anak di bawah umur meninggal tidak wajar, yaitu dengan cara gantung diri. Identitas anak dibuka secara gamblang, mulai dari alamat tempat tinggal, nama dan alamat sekolah, menampilkan gambar di tempat kejadian perkara.

Bahkan, ada juga yang secara detail mengulas tentang gejala awal dan proses si anak gantung diri. Seakan mau mengajarkan pembaca atau orang lain tentang bagaimana cara bunuh diri?

Baca Juga  Intip Tips Matematika dari Medsos

Sekali lagi, berita bukan hanya berdasarkan fakta, tapi juga hati nurani. Bagaimana jika yang bunuh diri itu anak atau keluarga kita? Kemudian beritanya dibesar-besarkan, apa yang kita rasakan dan fikirkan?

Kasus bunuh diri memang sebuah fakta peristiwa. Namun apakah peristiwa bunuh diri itu penting dan dibutuhkan publik? Apakah berita kasus bunuh diri itu mendidik?

Jawabannya hanya satu kata “TIDAK”.

Penulis berpendapat, pada berita kasus bunuh diri, terlepas korbannya anak atau orang dewasa, jelas tidak penting dan tidak mendidik. Tidak ada manfaat apapun yang dapat diambil dari berita kasus bunuh diri.

Seantero jagat raya akan melihat atau membaca beritanya. Malu dan trauma pasti dirasakan oleh orang tua dan keluarga korban, termasuk para guru dan teman-teman di sekolahnya. Inikah yang diinginkan oleh pers? Membuat publik berpikir, bahwa orang tua dan gurunya tidak bisa mendidik anak dan muridnya?

Kecuali, ada sesuatu yang tidak wajar dari kasus itu. Misalnya, korban diduga lebih dulu dibunuh, namun dibuat seolah gantung diri. Kemudian narasumber yang menyatakan hal itu jelas kapasitas dan kompetensinya. Contohnya penyidik yang menangani kasusnya, atau dokter yang menangani visum atau otopsi jenazahnya.

Baca Juga  Pecut Sakti Jenghis Khan

Merujuk kepada Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, pada kasus pelajar yang meninggal bunuh diri belum lama ini, tidak selayaknya nama dan alamat sekolahnya ditulis secara detail, karena tidak ada kaitannya dengan sekolah tersebut. Apalagi waktu dan tempat kejadian di luar jam belajar dan di luar lingkungan sekolah.

Mengapa? Karena membuka nama dan alamat sekolah secara detail, atau nama dan alamat tempat tinggalnya dapat membuka identitas anak korban, dan itu melanggar Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

Dalam teori ilmu jurnalistik berita harus memenuhi unsur 5W + 1H. Dalam kontek perlindungan anak, maka kelengkapan unsur berita tidak boleh melanggar Kode Etik Jurnalistik, apalagi Undang-Undang, sehingga orang yang membuka identitas anak bermasalah dengan hukum dapat dikenakan sanksi hukum.

Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama, untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.

Baca Juga  Membentuk Karakter Wirausaha Yang Kuat Dalam Proses Pembelajaran di Sekolah

Kecuali berita tersebut benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak, sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten, atau subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai.

Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.

Masyarakat dirugikan oleh pemberitaan pers, dapat mengajukan keberatan melalui hak jawab atau hak koreksi kepada redaksi media yang bersangkutan, sebaiknya dilakukan secara tertulis.

Sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Pers, diatur pula pada Pasal 10 dan Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik, redaksi media yang bersangkutan juga wajib melakukan koreksi atau ralat terhadap berita yang dikoreksi oleh narasumber, atau oleh pihak lain yang mengetahui adanya kekeliruan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pers. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *