Bek Kepala “Batu” itu Pergi

Catatan Fakhruddin Halim
(Pemred suarabangka.com)

“Semuanya, siaap graak!” suara itu lantang.
“Hei! Kamu, jangan cengegesan. Keluarkan tangan dari saku celana,” teriaknya.

Pria itu adalah Erduan Yansen, BA. Tubuhnya gempal tegap. Rambutnya selalu cepak. Berjaket olahraga dan sepatu kain warna putih.

Di SMEA Negeri Curup (kini SMKN I Curup Timur) dia Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.

Lulusan Sekolah Guru Olahraga (SGO) itu atlit sepak bola. Di eranya, dia aktif di sejumlah klub sepak bola.

Erduan bek handal. Bagi lawan, bukan perkara mudah menembus benteng pertahanan yang dikawalnya. Meski tubuhnya terbilang pendek, Erduan bisa melompat cukup tinggi.

Sundulan kepalanya adalah sundulan maut. Tak heran dia dijuluki “Bek Kepala Batu”. Di kelas kami dia mengajar Mata Pelajaran Manajemen Bisnis. Ketika kelas I A, saya terbilang murid bandel.

Baca Juga  Polisi Olah TKP Kecelakaan Maut di Desa Puput

Jika bukan tersangkut di terminal sehingga tidak sampai ke sekolah, atau sampai sekolah, tapi habis jam pertama bolos.

Hari Senin, ketika yang lain upacara tak jarang bersama beberapa kawan kami justru nangkring di kantin luar sekolah atau mojok di kebun kopi sekitaran sekolah.

Pak Erduan hapal ada wajah-wajah yang tidak tampak dalam barisan. Dia patroli mengenakan sepeda motor Astrea Prima.

Maklum tempat persembunyian kami selalu berpindah, tapi dia tidak mudah menyerah. Jika tidak ketemu berarti kami aman.

Jika tahu tempat persembunyian maka dia mengejar terus meski harus masuk ke kebun kopi atau semak-semak.

Biasanya jika kami merasa sudah ketahuan dan terdesak, buru-buru salah seorang dari kami mencopot seragam lalu dikaitkan di sepotong kayu dan diangkat tinggi-tinggi sambil dikibaskan.

Baca Juga  Puncak HPN 2022, Komitmen PWI Menjaga Lingkungan, Nurjaman: Ini Gerakan Nasional Penyelamatan Mangrove

Itu tandanya kami menyerah dan berdamai. Lalu, terdengar klakson beberapa kali, itu tandanya ajuan berdamai kami diterima.

Kami berbegas menemui Erduan di ruangannya atau adakalanya di kantin. Dia tidak marah, tapi justru mengajak berbicara dari hati-ke hati.

Tak jarang kami pun sambil ditraktir makan di kantin.

Sekitar empat atau lima tahun lalu, ketika mudik saya bertemu Erduan. Kebetulan rumah kakak saya bersebelahan dengan rumahnya di Air Meles, Curup.

Ketika itu kondisi kesehatannga sudah jauh menurun akibat terserang struk. Dia menatap saya cukup lama.

“Ingat kamu 26 tahun lalu?” ujarnya.
Saya pun cukup lama tercenung. “Iya pak, saya rindu mengulang suasana itu,” kata saya, kami pun terbahak.

Dia meloloskan salah satu cincin bermata akik dari jari manisnya. Lalu memasangkannya di jari kelingking saya.

Baca Juga  Agenda Tahunan Anugerah Jurnalistik Adinegoro Segera Digelar

“Buat kamu, tidak ada yang bisa bapak berikan. Baik-baiklah kamu di rantau orang,” katanya.

Saya tidak mengucapkan sepatah kata. Mata saya basah. Saya begitu hormat kepada Pak Er, begitu biasa kami sapa.

Saya pun meloloskan cincin bermata akik warna biru laut kesayangan saya dari jari manis. Lalu memasangkan di jari manisnya.

“Kebesaran Din, pakailah untuk mu,” katanya datar.

Saya pun meimpali.
“Ini buat bapak. Paling tidak bapak ingat saya, saya mohon bapak sudi menerimanya.”

Pak Er hanya mengangguk pelan. Itulah untuk terakhir kalinya kami bertemu.

Dan, Rabu, 7-7-2021 petang, di Kota dingin Curup, Erduan Yansen, BA dipanggil pulang menghadap Allah Swt.

Semoga Allah Swt. Mengampuni segala dosa dan menerima segala amalnya..aamiin. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. I was suggested this blog by my cousin. I’m not positive whether this submit is written via him as no one else recognize such specified approximately my trouble. You are amazing! Thank you!