KH. Abu Bakar Harun ‘Arsitek’ Pesantren Itu Berpulang…

Catatan Fakhruddin Halim

(Pemred suarabangka.com)

“…kau begitu keras dan tegar, namun kita semua tahu bahwa dibalik penampilan lahiriyah itu berdetaklah jantung hati semurni emas!” (Anton Chekhov)

Membidani lahirnya sejumlah Pesantren, hidup sangat bersahaja, tapi pemikirannya melampaui zamannya.

Sejumlah pesantren itu bukan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Tidak pula untuk mencari keuntungan sesaat dengan berlindung dibalik stempel amal ikhlas.

Tapi benar-benar untuk kepentingan ummat!

Sejumlah pesantren itu pun kini tumbuh menjadi pusat-pusat pengkaderan generasi muda Islam.

Masih ada satu gagasan yang belum terwujud. Ketika sering menjenguknya di suatu tempat, beliau memegang lengan saya dengan kuat dan menariknya ke pojok ruangan.

Dari saku kemeja lengan panjang warna putih, beliau keluarkan beberapa helai kertas lusuh bertulis tangan tegak bersambung rapi.

Saya membacanya, lalu mengangguk. Beliau menjelaskan secara ringkas tidak lebih dari dua menit.

“Simpan di kantong ananda,” katanya pelan.

Sayangnya saya lupa dimana kertas itu terselip. Tapi gagasan besarnya masih melekat kuat di benak saya.

Semoga bisa saya wujudkan dan tentu saja bersama sejumlah kawan yang siap berjibaku.

Baca Juga  HUT DWP Kota Pangkalpinang, Molen : Nyaris Sempurna, Jaga Kekompakan

Sabtu (24/7/2021) kabar itu pun datang. Seperti kabar serupa sebelumnya, mengejutkan, menghentak dan tanpa peduli situasi.

KH. Abu Bakkar Harun, sang arsitek pesantren, “Bapak Pesantren Babel” itu dipanggil pulang oleh Allah Swt. ke kampung abadi.

Buah pikir dan karyanya menyertainya sebagai amal jariyah.

Semoga Allah SWT. mengampuni segala dosa, menerima amal jariyahnya dan dimasukkan ke dalam barisan para syuhada. Aamiin. Alfatihah.

***
Dengan suara bergetar beliau menyampaikan beberapa berpesan:

“Ummat Islam harus berpegang teguh pada Islam. Jangan mudah termakan rayuan. Lihat dulu, apakah sesuai tidak dengan Islam? ” katanya dengan nada tegas, kepada saya dan tiga orang kawan yang menjenguknya, Kamis, 20/02/2020, malam.

“Mumpung masih muda, teruslah berjuang. Toh kalau bukan berjuang untuk negeri ini, untuk Islam, untuk apa hidup ini?”

“Mumpung masih sehat, masih kuat. Jangan tergoda dengan jabatan, harta dan wanita. Berbuatlah untuk ummat ini.”

“Saya berjuang sejak muda. Melawan komunis, Bergabung dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Apa jadinya generasi mendatang kalau generasi muda sekarang diam atas berbagai kemungkaran.”

Baca Juga  Kepala BNN Hadiri Kegiatan Puncak Drug Free Exhibilition

“Saya sekarang sakit. Untuk Salat saja harus berbaring. Saat ini tidak bisa melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Tidak bisa melaksanakan aktivitas sosial keagamaan, ” katanya.

“Berjuang itu artinya berjihad. Dan setiap muslim wajib berjihad.”

Adalah KH. Drs. Abu Bakar Harun, MM, 78 tahun. Sudah enam hari terbaring di tempat tidur di rumahnya, karena sakit.

Sakit ini bermula ketika ia terpeleset, jatuh. Kaki awalnya memar, lalu bengkak yang pada akhirnya bengkak itu menjalar kesejumlah bagian lainnya di kedua kakinya.

Kiyai Abu Bakar Harun sejak muda mencurahkan perhatiannya pada ummat ini. Selain aktif berdakwah, beliau mendirikan sejumlah Pondok Pesantren.

Dalam catatan yang ditelusuri penulis sebagaimana yang dimuat situs ika-ppni. org dan wiki.laduni.id, beliau pendiri PP Nurul Ihsan Baturusa, PP Sabilul Muhtadin, PP Miftahul Jannah dan sejumlah pesantren lainnya serta sekolah yang menurut informasi konon sekitar delapan.

Tak berhenti sampai disana, pada tahun 1986, Kiyai Abu Bakar Harun ikut mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT).

Kemudian menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan pada Oktober 2004 berubah status menjadi negeri hingga sekarang (2020) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik yang bertempat di Petaling.

Baca Juga  Tegas! Gubernur Minta Pertamina Banjiri Suplay BBM di Seluruh SPBU

Beliau orang besar. Arsitek sejumlah peaantren, sekolah dan perguruan tinggi. Meski demikian beliau tetap melakoni hidup dengan sangat bersahaja.

Bagi beliau hidup ini tak lebih dari bagaimana memperbanyak karya amal. Bukan bagaimana menumpuk harta atau memanfaatkan “amal” untuk mengeruk keuntungan pribadi.

“Kita semua pasti mati. Yang kita bawa hanya amal. Perjalan manusia itu panjang. Setelah mati masuk alam kubur, padang mahsyar, timbangan dan seterusnya. Jadi perbanyaklah bekal, ” katanya.

Hampir 8 tahun saya saban hari lewat depan rumah beliau menuju kantor. Dan seringkali saya bertemu beliau berjalan kaki menuju ke satu tempat yang cukup jauh. Atau sering juga saya bertemu beliau naik angkot.

Beliau tidak memiliki kendaraan pribadi. Tidak pula ingin membebani orang lain. Meski tidak menolak ketika saya tawari dibonceng sepeda motor.

Meski terbaring sakit, ia tidak pernah merasa lelah untuk memikirkan nasib ummat ini! (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *