Mempertahankan Teluk Kelabat Rumah Tujuh Suku Melayu

BANGKA – Teluk Kelabat masuk ke dalam dua kabupaten. Sebelah timur Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, dan sisi barat Kabupaten Bangka Barat.

Ada wilayah menjorok itu mirip dengan danau dengan alur air masuk seperti anak sungai dari teluk yang berhadapan langsung dengan laut luar. Jika dilihat dari citra satelit maka bagian yang terkurung itu menyerupai guci besar dan inilah yang dinamakan dengan Teluk Kelabat Dalam.

Sedikitnya 12 desa berhubungan langsung dengan Teluk Kelabat. Teluk ini menjadi sumber penghidupan dan “rumah” tujuh Suku Melayu. Yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng.

Di teluk inilah menjadi wilayah tangkap nelayan kecil dengan alat sederhana seperti perahu kayu bermesin tempel, jaring, pancing dan bubu.

Namun sejak 2014, mereka berjuang melawan penambangan timah laut liar. Penambangan liar ini semakin marak seiring dengan beroperasinya Kapal Isap Produksi (KIP).

Suarapos.com grup suarabangka.com, Rabu, 1 Juni 2022 menelusuri sejumlah lokasi di Teluk Kelabat. Dari Pulau Dante yang ada di teluk, tampak tambang ilegal jenis rajuk mengacak-acak teluk. Dari keterangan para nelayan ponton isap itu berjumlah sedikitnya 500 unit.

Meskipun berbagai aksi dilakukan, namun penambangan liar tersebut tetap berlangsung. Penambangan timah ini mengancam kelestarian Teluk Kelabat, yang dijaga tujuh Suku Melayu selama puluhan abad.

Jika Teluk Kelabat rusak, maka keberadaan tujuh Suku Melayu yang hidup harmonis dengan alam juga terancam.

Sejak 2014, puluhan ribu warga yang menetap pada belasan desa di tepian Teluk Kelabat, berjuang membebaskan teluk tersebut dari aktivitas penambangan timah laut.

Puluhan ribu warga tersebut merupakan keturunan tujuh suku melayu di Pulau Bangka, yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng.

Pada 1 Mei 2021 lalu, berlangsung aksi berujung bentrokan antara masyarakat dengan penambang timah di Teluk Kelabat. Satu rumah di Desa Pangkalan Niur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, dibakar warga.

Rumah tersebut merupakan “mess” para penambang timah liar. Bentrokan tersebut juga menyebabkan sejumlah warga dan penambang mengalami luka-luka.

Aksi penolakan tersebut dikarenakan masih adanya kegiatan penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat. Padahal, berdasarkan Perda No. 3 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, dinyatakan bahwa Teluk Kelabat tidak masuk dalam zona pertambangan.

Baca Juga  Mutasi Perwira Polres Bangka, Siapa Saja?

Pascabentrokan tersebut, Kepolisian Kabupaten Bangka, menyatakan penambangan timah di Teluk Kelabat adalah ilegal. Kepolisian dan TNI AL berulangkali melakukan penertiban penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat.

Namun, tak lama berselang, para penambang itu kembali lagi. Nelayan juga merasa heran mengapa para penambang tersebut seberani itu?

Abdul Fatah, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung ketika itu, saat bertemu dengan Aliansi Solidaritas Selamatkan Teluk Kelabat, 25 Mei 2021 lalu, menyatakan penambangan timah di perairan Teluk Kelabat itu ilegal.

“Petanya sudah jelas, aktivitas penambangan bukan di sana zonasinya. Berarti ini ilegal,” kata Abdul Fatah dikutip dari babelprov.go.id.

“Saat diprotes mereka berhenti, saat razia mereka berhenti, tapi kemudian kembali beraksi,” kata Maryono, Ketua Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam (FNPTKD) seperti dikutip Mongabay.co.id, 19 Juni 2021.

Simbol Keharmonisan

Teluk Kelabat luasnya 32,9 ribu hektar. Teluk ini dua cekungan. Cekungan pertama Nutara), menghadap Laut Natuna. Sebutannya Teluk Kelabat Luar (16,6 ribu hektar).

Cekungan kedua (selatan) yang merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Maras. Dinamakan Teluk Kelabat Dalam (16,3 ribu hektar).

Posisi teluk ini di depan Gunung Maras. Sehingga ketika berada di perairan Teluk Kelabat seakan terus diawasi Gunung Maras, bukit tertinggi di Kepulauan Bangka Belitung. Tingginya 705 meter.

Ada 12 desa di pesisir Teluk Kelabat. Yakni Desa Pusuk, Tuik, Beruas, Rukam, Semulut, Kampit dan Baki yang masuk Kabupaten Bangka Barat. Sebagian lagi adalah Desa Berbura, Pangkalan Niur, Bukit Tulang, Riding Panjang dan Belinyu di Kabupaten Bangka.

“Semuanya merupakan permukiman dari tujuh suku melayu di Pulau Bangka, yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng,” kata Maryono.

Selama belasan abad, atau jauh sebelum mulai adanya aktivitas penambangan timah di Pulau Bangka, dari era Kesultanan Palembang dan pemerintah kolonial Belanda dan Inggris, berbagai suku ini memanfaatan perairan Teluk Kelabat sebagai sumber makanan dan ekonomi.

“Perairan Teluk Kelabat merupakan media komunikasi antar-Suku Melayu di sini. Di perairan ini kami tidak pernah konflik, kami saling menghormati. Bahkan, etnis Tionghoa juga dapat memanfaatkan Teluk Kelabat. Dapat dikatakan perairan ini simbol keharmonisan berbagai suku yang hidup di sepanjang tepian Teluk Kelabat. Ini laut adat kami,” jelas Maryono.

Baca Juga  RAPBD Babel 2024 Disetujui DPRD

Berbagai aturan adat diberlakukan tujuh suku tersebut di Teluk Kelabat, hingga saat ini. Misalnya, menangkap ikan hanya menggunakan jaring, pancing, menombak dan bubu. Jaring dan bubu yang digunakan tidak boleh ditinggalkan terlalu lama (melewati satu hari), sebab berbagi ruang dengan nelayan lain.

Yasrizal, warga Desa Beruas menuturkan, “Secara adat, di sini kami sepakat tidak menggunakan alat tangkap skala besar seperti trawl, bom ikan, racun dengan bahan kimia, dan lainnya. Pada intinya, kami sepakat melestraikan laut Teluk Kelabat.”

Terkait mangrove, dia menyatakan, ada larangan menebang pohon secara berlebihan atau dijadikan sumber ekonomi, seperti papan atau membuat arang. Hanya boleh menebang untuk keperluan kapal, dermaga, atau rumah. Ukurannya minimal sepelukan orang dewasa.

Berbagai Suku Melayu di pesisir Teluk Kelabat merupakan masyarakat bahari. Mereka memanfaatkan daratan dan laut sebagai sumber pangan dan ekonomi. Di darat, mereka berkebun lada, karet, buah, serta menanam padi. Sementara di laut, mereka mencari ikan.

“Jadi, jika perairan Teluk Kelabat ini dirusak oleh penambangan timah atau ekonomi merusak lainnya, itu artinya sama dengan menghancurkan keberadaan tujuh Suku Melayu di sekitar Teluk Kelabat. Teluk ini bukan semata sumber pangan dan ekonomi, tapi merupakan bagian dari budaya kami, identitas kami,” jelas Maryono.

Benteng Pertahanan

Sejumlah tokoh dari berbagai suku di perairan Teluk Kelabat, yang bertemu dengan Mogabay Indonesia di Pulau Nenas, sebuah pulau yang berada di Teluk Kelabat, menyatakan akan terus berjuang membebaskan laut adatnya dari penambangan timah.

“Secara adat, kami warga di sini sepakat untuk bersama melestarikan laut Teluk Kelabat. Ini merupakan amanah para leluhur. Jadi, kami akan terus berjuang mempertahankan teluk ini dari kerusakan, terutama dari penambangan timah,” kata Yasrizal, warga Dusun Beruas.

“Kami juga meminta pemerintah untuk ikut bersama menjaga Teluk Kelabat Dalam, seperti ancaman tambang timah liar. Berdasarkan RZWP3K, Teluk Kelabat bebas dari tambang. Bila penambangan timah dibiarkan, jelas akan merusak terumbu karang, mangrove beserta ikan-ikannya. Jika Teluk Kelabat hancur, kami pun hancur,” katanya.

Baca Juga  Bupati Bangka Resmi Buka Pameran Bangka Expo

Kepada Suarapos.com grup suarabangka.com di Pulau Dante, Rabu, 1 Juni 2022, tokoh nelayan lainnya, Wisnu mengatakan tidak akan pernah berhenti berjuang mempertahankan teluk kelabat sebagai wilayah tangkap nelayan.

“Kami tidak gentar. Kami juga tidak tahu sampai kapan seperti ini, tapi kami tetap melawan,” kata pria 42 tahun, dengan sorot mata tajam.

Butuh Tindakan Nyata

Ketua Komisi III DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Agung Setiawah meminta agar jangan mengganggu wilayah tangkap nelayan Teluk Kelabat Dalam.

Hal ini disampaikan Agung menjawab pertanyaan Suarapos.com, Grup Suarabangka.com ketika menerima audiensi perwakilan nelayan Kabupaten Bangka dan Bangka Barat yang tergabung dalam Forum Nelayan Teluk Kelabat Dalam (DNTKD) di ruangan kerjanya, Kamis siang, 2 Juni 2022.

“Jangan mengganggu nelayan. Rasanya aktivitas penambangan tidak mungkin sejalan dengan aktivitas nelayan,” kata Agung.

Agung mengatakan seharus Forkopimda memaksimalkan perannya menyelesaikan persoalan Teluk Kelabat Dalam.

“Kalau berkaitan dengan peraturan daerah, ada Satuan Polisi Pamongpraja. Kalau aparat saja tidak mampu, lalu siapa lagi?” ujar Agung.

Untuk menyelesaikan penambangan di wilayah tangkap nelayan Teluk Kelabat Dalam, Agung, dihadapan perwakilan nelayan mengatakan sesegera mungkin meneruskan aspirasi nelayan ke pimpinan DPRD Babel.

“Harus rapat bersama, hari ini juga saya teruskan ke pimpinan DPRD Babel. Kalau perlu ke pusat, kita ke pusat. Wewenang pertambangan kini ada di pusat,” kata Agung.

Sedangkan Penjabat Gubernur Ridwan dikabarkan segera memanggil koordinator tambang ilegal di Teluk Kelabat Dalam.

Kabar tersebut diungkapkan salah seorang nelayan yang ikut bertemu Ridwan, di Pangkalpinang, Kamis malam, 2 Juni 2022.

“Pj Gubernur (Ridwan Djamaluddin) segera ke Teluk Kelabat Dalam dan panggil koordinator tambang ilegal di Teluk Kelabat Dalam,” ujarnya.

Ketika diminta menjelaskan lebih detail, nelayan tersebut enggan merincinya. Ia meminta menanyakan langsung ke Ridwan.

“Langsung aja WA (kirim pesan WatsApp) Pj Gubernur,” katanya, pendek.

Sedangkan ketika dikonfirmasi ke Ketua FNPTD Maryono. Ia mengatakan, “Intinya Pak Gub tetap akan turun menyelesaikan tambang-tambang laut ilegal yang akan memicu pada konflik antara nelayan dan penambang.”

Sayangnya hingga berita ini diturunkan sejumlah pertanyaan secara tertulis sudah dikirimkan melalui pesan WastApp kepada Ridwan Djamaluddin sebagai konfirmasi dan verifikasi, namun belum direspon.

Konfirmasi dan verifikasi kepihak terkait masih terus diupayakan. (SB/SP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar