JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Senin (9/8/2021) secara daring.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Pemohon yang diwakili oleh Lasma Natalia selaku kuasa hukum para Pemohon menilai bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 169C huruf g, Pasal 173B, Pasal 173C UU Pertambangan Mineral dan Batubara a quo bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.
Lasma mengatakan, penghapusan frasa “dan/atau pemerintah daerah’’ dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU a quo telah merendahkan harga diri masyarakat daerah akibat terbatas atau hilangnya ruang partisipasi yang bermartabat bagi mereka dalam ikut menentukan masa depannya, serta berpotensi memandulkan daya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat di daerah, melemahkan tanggung jawab daerah dalam membangun wilayah dan masyarakatnya. Akhirnya semua tergantung pada perhatian dan “anugerah” pemerintah pusat.
“Penghapusan frasa ‘dan/atau pemerintah daerah’ dalam ketentuan pasal UU a quo tidak hanya berdampak pada partisipasi Pemohon I, namun juga pada Pemohon II serta daya prakarsa pemerintah daerah dalam melindungi wilayahnya, salah satunya dengan diinisiasinya moratorium perizinan,” ujar Lasmi secara daring.
Menurut Lasma, moratorium perizinan sangat penting dilakukan dalam membendung laju krisis lingkungan hidup dan sebagai upaya mitigasi krisis iklim akibat alih fungsi lahan tak terkendali. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu pemerintah daerah yang telah menginisiasi kebijakan daerah tentang moratorium perizinan tambang, yakni melalui Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penataan Pemberian Izin dan Non perizinan di Bidang Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sambung Lasma, materi muatan peraturan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) UU a quo yang telah menghilangkan dan menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam penguasaan mineral dan batubara telah merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon baik secara aktual maupun potensial, karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, yang selanjutnya harus dinyatakan inkonstitusional.
Lebih lanjut Lasma menjelaskan, terkait dengan Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Pertambangan Mineral dan Batubara tentang jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Dalam pasal-pasal tersebut, adanya jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bertentangan dengan pemenuhan aspek substantif dalam hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena apabila secara daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah tersebut sudah tidak mampu untuk menampung aktivitas pertambangan, keberadaan pasal ini justru akan menjamin wilayah tersebut untuk terus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan.
Menurut Lasma, jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk WIUP, WIUPK dan WPR juga bertentangan dengan pemenuhan aspek prosedural dalam hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Partisipasi masyarakat untuk mewujudkan tata ruang yang baik dan sehat dalam proses peninjauan kembali tata ruang sebagaimana diatur dalam UU Penataan Ruang menjadi tidak berarti karena bagaimanapun masyarakat memberikan rekomendasi atau pandangan atas suatu wilayah pertambangan, wilayah tersebut akan tetap dijamin sebagai WIUP, WIUPK dan WPR.
Lasma juga menyebut, jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang membuat segala masukan masyarakat terkait kawasan budi daya yang menjadi lokasi WIUP, WIUPK, atau WPR tidak dapat diakomodasi karena pemanfaatan ruang untuk WIUP, WIUPK, dan WPR telah mendapatkan jaminan oleh UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk tidak diubah. Dengan demikian, masyarakat kehilangan aksesnya untuk memberikan partisipasi yang berarti (meaningful Participation) atas kawasan budi daya yang menjadi lokasi wilayah kegiatan pertambangan, meskipun masukan tersebut terkait dengan kondisi lingkungan hidup masyarakat maupun perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi yang ada.
Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan para pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan para Pemohon untuk mempersingkat permohonannya. “Sebenarnya permohonan ini tidak harus sepanjang ini. Karena esensi yang dipersoalkan ada 2 sebenarnya. Meskipun nanti akan ada yang saya minta penegasan antara kehilangan kewenangan oleh pemerintah daerah ataukah kehilangan hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik sesungguhnya. Nah ini berkaitan dengan legal standing,” urai Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan bahwa perlu kehati-hatian dalam merumuskan petitum.
“Kalau petitumnya kayak begitu berarti sudah tidak ada pasal yang mengatur itu. Kalau itu dinyatakan inskonstitusional dan tidak mempunyai kedudukan hukum mengikat. Nanti aturannya jadi gimana itu? Jadi tolong hati-hati betul itu petitum nomor 3,4 dan 5 itu bisa dipikirkan kembali,” urai Arief. Kemudian, Arief juga meminta para Pemohon untuk mencermati Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang menguji Pasal 169A UU Minerba.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa para pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Penyerahan perbaikan permohonan diberikan kepada Kepaniteraan paling tidak 2 jam sebelum sidang dilaksanakan, yakni pada Senin, 23 Agustus 2021. (Humas MK)